Seperti dendam, rindu harus dibayar tuntas.” – Eka Kurniawan
Kabar itu datang tidak sampai seminggu sebelum hari ini, tiba-tiba sekali di tengah rutinitas kerja paruh waktu yang sibuk. Mereka, Campus Boys, datang tergesa seperti sangat penting. Kami ngobrol tidak cukup lama karena memang aku terhimpit kerja dan merekapun tergesa. “Bisa bener kan mas?”, tanyanya terakhir sebelum mereka pergi. Tidak begitu lama, grup whatsappku penuh notifikasi hal yang sama, mereka juga diminta datang oleh orang-orang yang sama. Aku sendiri sebenarnya belum memutuskan apa-apa karena waktu yang pas banget dengan jadwal full shift akhir pekan.
Lebih dari setahun lalu band kami bubar di atas panggung tepat di peluncuran album pertama. Merasa sudah cukup perjalanan setengah dekade dan tuntutan hidup manusia normal untuk segera bekerja. Hari-hari setelahnya, beberapa dari kami masih berkutat di sepakbola sementara aku sendiri benar menjauh dan mencoba memperbaiki hidup yang kacau.
Hari ini di sebuah Sabtu yang seharusnya biasa, jam menuju pukul 9 malam dan kegelisahan benar-benar menunjukkan sifatnya. Masih ada sedikit pikiranku untuk tidak datang menepati janji dan melanjutkan hidup yang biasa seperti hari-hari sebelumnya; menjadi manusia biasa yang seharusnya. Kucoba memutar lagu-lagu kami yang dulu biasa kami nyanyikan, mencari alasan yang kuat untuk datang menepati janji. Sampai satu lagu melintas di earphone murahan di telingaku, “walau hanya kudapat lelah, semangatku sampai akhir darah.” Aku bergegas menuju Maguwoharjo sebelum kelar jam kerja.
Kenekatan macam ini dulu seringkali menjadi penentu keputusan-keputusan dalam hidupku. Saat sepakbola menjadi hal teratas dalam piramida kewajiban hidupku, yang tidak bisa dipungkiri membawa banyak penyesalan dari orang-orang yang berharap banyak dariku. Aku tau aku tidak sendiri dalam kengawuran ini, banyak orang yang sama mencintai PSS Sleman segila ini sepertiku. Mengambil keputusan-keputusan tidak masuk akal demi sepakbola. Kuralat, demi menonton sepakbola. Kuralat lagi, demi mengikuti sepakbola.
Dan tiba-tiba aku sudah berada di depan gerbang, selangkah lagi gigs Campus Boys di depanku. Bukankah keriuhan macam ini yang dulu coba kupantikkan di Sleman?
Melangkahkan kakiku masuk seperti merobek gelisah beberapa hari terakhir. Liston jalan sempoyongan keluar dari toilet, aku hafal gestur mabuk macam ini. Kurangkul ia dari belakang dan senyumnya mengembang mengajakku minum di sudut booth. Aku membaur cepat di kerumunan yang menyuguhkan anggur merah dan ciu bergantian, semua masih hangat seperti dulu. Segera aku mencari personil Neckemic lain. Lagi, kami bertukar senyum untuk pertemuan yang tidak pernah direncana ini. Ternyata serindu ini aku pada sepakbola dan semua di dalamnya. Menit-menit berikutnya tentu saja adalah obrolan di tengah denting botol, sambil menunggu jadwal tampil kami sebagai penutup gigs hari ini. Orang-orang di depan panggung belum tau kami akan muncul karena memang nama kami tidak ada di poster. Aku tidak begitu peduli rundown. Aku peduli pada ketentraman ini. Semua seperti tenang di antara gemuruh lagu-lagu yang sedang dibawakan teman-teman band lain.
Di tribun selatan, yang dipakai sebagai backstage, aku terharu sangat dalam pada pertemuan kami lagi, aku dan Maguwoharjo. Lampunya yang silau mulai mati satu demi satu layaknya mengedip manja padaku. Aku terbenam di rasa haru, entah alkohol yang mengambil alih atau aku benar sangat sentimentil malam ini.
Mungkin sudah muntah yang keempat saat Kubro Elektro naik atas pentas, band terakhir di daftar poster yang artinya Neckemic muncul sebentar lagi. Kami satu band menenggak anggur merah bersama sebelum bersiap (sebenarnya kami tidak mempersiapkan apapun selain ingatan). Tibalah waktu kami, orang-orang mulai berbalik badan mengira acara usai dan terkaget musik belum berhenti. Kami naik panggung dan dalam satu kedipan mata semua orang kembali ke depan, merangsek naik dan memenuhi panggung. Sambutan sehangat ini tidak pernah kubayangkan sebelumnya sejak Neckemic bubar. Tidak perlu menunggu terlalu lama dan lagu pertama dimulai. Orang-orang masih segembira dulu menggila bersama kami. Aku sendiri larut sungguh dalam, waktu seperti beku tiap detik aku menyelam di dalamnya. Daftar lagu yang kami susun hampir percuma karena orang-orang meminta hampir semua lagu kami.
Mikrofonku beberapa kali entah terlempar kemana dan aku tidak begitu acuh. Persetan penampilan kami malam ini, semua orang merayakan pertemuan.
Menyapu pandangan ke beberapa sudut, aku melihat beberapa orang menangis merayakan hari ini. Sebagian mereka menangis dalam syukur masih berada di lingkaran ini sampai hari ini, sebagian lain menangis menyanyikan bait demi bait doa di dalam lirik, sebagian sisanya menangisi perjuangan dan cintanya pada sepakbola yang tiap hari menjadi nafas hidup.
Aku sendiri sempat hanya diam berdiri meresapi ini semua, sepakbola menyihir manusia sehebat dan sedalam ini. Tentang harapan, tentang cita-cita, tentang perjalanan. Aku tersenyum di akhir penampilan kami, bersyukur menjadi bagian dari PSS Sleman. Tanah penuh keajaiban, yang selalu mengijinkan kami ikut ambil bagian menulis sejarahnya.
PSS Sleman, aku pulang.
(Tonggos/Agustus 2019)