Seketika aku masuk bersama bocah britania ini di gang pendek yang gelap dan sempit, masih dengan geram di hati kami berdua atas sore tadi yang memuakkan. Apalagi kalau bukan untuk beli anggur. Rangkaian hasil menyebalkan di 3 laga terakhir mengendapkan amarah. Menggiring kami beli anggur atas celetukan “hash bajingan” tanpa bisa menuntut lebih banyak usai peluit akhir. Dua kali imbang di kandang sendiri dan satu kekalahan besar di kandang musuh yang sedang meruncing. Juga celotehan pemakluman di lini masa “lawan e apik nek imbang yo wes lumayan.” Aku sendiri tidak bisa begitu, juga bocah britania di depanku ini. Memaklumi hasil yang tidak optimal belum pernah sama sekali menjadi agendaku dalam satu dekade mengikuti Superelja. Buatku sendiri, PS Sleman selalu harus nomer satu dan kekalahan yang bisa dimaklumi hanya setelah bermain penuh hasrat yang tidak berujung keberuntungan. Selain itu, aku tidak ingin mentoleransi hasil buruk. Aku tidak ingin terjebak di pemakluman-pemakluman dan ketakutan untuk jadi kebiasaan suatu saat.
Anggur kami tenggak pelan dalam waktu yang didominasi oleh diam, sesekali mengingat peluang-peluang terbuang dalam 3 laga terakhir -terutama lawatan tandang Malang-. Bermain seperti tanpa ambisi, dicukur habis 4 gol tanpa balas, sementara kami yang mencoba berangkat dan gagal hanya bisa meratapi gol demi gol yang diarak makian “asu gol meneh”. Satu pertandingan sebelumnya gagal mendulang pesta karena “maklum lawane Persipura” dan pertandingan sore tadi yang serba kemelut menjurus kalut.
Seharusnya aku yang malu karena sempat berteriak dari atas stager “Oi, bikin malu!” pada pemain usai pertandingan. Tapi apa mau dikata memang itu yang pertama kali terlintas dan keluar begitu saja lancar sarat emosi. Hal-hal begini tidak akan lama, aku sudah tau. Setelah anggur dan tidur nanti pagi, harapan akan mulai baru lagi menjelang pertandingan berikutnya. Selalu begitu dari dulu.
Dua hari sudah sejak anggur penuh amarah malam itu, hampir 48 jam terlewat dan aku sedang menuju perbatasan Sleman barat. Hari ini pulang kerja, aku terjadwal membantu musikus muda Sleman untuk mengisi sedikit bagian vokal di lagu yang kami ciptakan bertiga beberapa minggu lalu. Rasa kecewa usai partai imbang kemarin seperti sudah habis dan segera berganti aktivitas kami seperti biasanya: apapun yang bisa dilakukan untuk PSS maka lakukan. Seperti inilah satu dekade dalam hidupku, sejak melakoni liga pasca gempa, yang busuk dan penuh harap, juga penuh kecewa.
Seperti juga selalu berulang, marah selalu kelar pada bangun tidur dan cinta tumbuh lagi pada Superelja. Sungguh, buatku, aku tidak bisa menjanjikan cinta selamanya. Aku hanya bisa menjanjikan hari ini setiap pagi.
Superleja, vinci per noi.
(Tonggos/Oktober 2019)