Di dalam rumah kecil lereng gunung api, satu keluarga tengah menghabiskan akhir pekan dengan kebebasan masing-masing, seorang bapak yang sedang mencuci sepeda motornya di teras, seorang wanita berumur 60-an berwajah ceria, berkaus abu-abu dengan balutan luar jaket hitam yang sedang berjalan membawa hidangan di piring menuju meja makan, dan mahasiswa semester akhir yang nyaman rebahan sambil memijat-mijat layar ponselnya. Menjelang siang, mereka berkumpul di meja ruang tengah untuk makan siang. Tak lama kemudian, masing-masing memilih hidangan yang sudah ibunya siapkan sejak dua jam sebelumnya. Sop bening, paha ayam, sepotong tempe goreng, dan sambal jatuh ke piring mereka. Makan siang bersama kemudian dimulai.
Wajah si ibu terlihat berkelas karena rutin dioleskan dedaunan herbal, menjadikannya tampak lebih mudah beberapa tahun. Di kursi lain, raut muka bapak dan anak sedang tidak enak. Hari-hari yang berat karena pekerjaan dan kebutuhan memang gampang jadi beban banyak orang. Menjelang berakhirnya makan siang, obrolan di meja seketika berbeda.Bapak dan ibu bercakap ngalor-ngidul perihal kebutuhan-kebutuhan hidup yang susah tertanggungkan. Perdebatan menjadi lebih tidak menyenangkan sebab terjadi di meja makan. Tempat yang semestinya jadi ajang bercerita dan berkeluh kesah tentang waktu-waktu yang terlampaui, yang kemudian dapat menjadi permenungan diri. Di sudut lain, si anak yang tidak mendapat tempat bercerita lebih memilih diam dan membatin dalam hati.
Waktu merayap berganti, berbarengan dengan sisa-sisa lauk dan sambal di meja makan sehabis dilahap. Si anak beranjak ke kamar, duduk di atas kasur tanpa ranjang, ditatapnya poster usang di dinding kamar, poster tim bola idolanya sejak akhir sekolah dasar. Ia sempat ikut sekolah sepak bola di lapangan kelurahannya, kegiatan yang ia tekuni sampai akhir sekolah menengah pertama. Bola menjadi temannya sejak kecil, keluarga sederhana yang jarang pergi tamasya bersama-sama kemudian menjadi tak berat dipikirnya. Sebab, ia tetap bahagia dengan sepakbola. Entah saat bermain dengan rekan-rekan sebayanya di lapangan sewaan, menonton siaran bola luar di layar kaca, atau menonton tim kebanggaannya berlaga secara langsung.
Sehabis waktu makan, menjelang pukul dua siang, ia membuka ponselnya lagi. Teringat sore nanti tim idolanya bertanding pada lanjutan liga. Rupanya ia sedikit kelupaan akibat berbagai pikiran berlalu-lalang di meja makan tadi. Atribut hijau tim kebanggaan cepat-cepat disiapkan. Berdandan rapi seakan pergi ke tempat peribadatan. Ia lantas bergegas, meninggalkan sejenak rumah. Melupakan perdebatan-perdebatan orang tuanya di meja makan.
Ia menghampiri teman semasa sekolah yang sama-sama menggemari tim bola kota kecilnya. Kemudian berangkatlah mereka dengan sepeda motor bebek lama. Jarak yang mereka tempuh tak jauh-jauh amat menuju tempat berlangsungnya laga. Sepanjang perjalanan telah riuh, puncaknya ada pada gerbang parkir stadion. Pertandingan baru akan lekas pukul tujuh malam, namun sejak sore hari ribuan pendukung sudah tumpah ruah mengelilingi. Raut wajah mereka berbinar bercahaya, mengamini bahwa sepakbola adalah anugerah dari semesta untuk banyak orang. Wasit siap meniup peluit kick off dari luar lingkaran tengah lapangan. Kemudian doa-doa dipanjatkan.
Malam itu, hidup berlangsung begitu gembira. Energi berada pada level penuh, siap berjingkrak dan teriak. Settingnya adalah lapangan super megah yang dikelilingi bangunan bertingkat dan lorong saling terikat. Altar yang sanggup menampung puluhan ribu insan sekaligus. Peluit kini telah ditiup dan sepakbola siap membangunkan berbagai macam emosi para pengikutnya.
Masing-masing terpagut pada permainan di atas lapangan: umpan tarik melengkung dari kanan pertahanan lawan, lesakan kencang si ujung tombak, sampai penyelamatan gemilang penjaga gawang. Di sisi lain, ada maestro taktik yang mengatur arah perjalanan gerbong dengan apik. Tidak berhenti, suara-suara dari seluruh penjuru tribun dilantunkan bak doa berjamaah.
Baginya dan banyak orang pada malam itu, sepakbola menjadi teman pelengkap perjalanan hidup yang hebat. Tim yang ia dukung punya ketabahan yang kelewat kuat, yang gagah melintasi waktu semena-mena dan terus relevan bagi para pendukungnya.
Baginya dan banyak orang pada malam itu, sepakbola menjadi kendaraan untuk bersenang-senang dan menghidupi kembali tubuh yang lelah, beban yang berat, dan kebutuhan yang tak berakhir.
Baginya dan banyak orang pada malam itu sungguhlah menyenangkan. Melihat masing-masing sudut memainkan peran, seolah saling memahami dan tampak bangga menjalaninya. Jika kemudian tim yang ia bela meraih tiga poin angka, itu adalah bonus yang didapat. Sebab sepakbola sudah menyediakan tempat menetap di dalam hidup.
Memori pada setiap laga biasanya bertahan awet. Menunggu peluit dimulainya laga, kaki yang lelah karena berdiri dan berjingkrak, udara panas yang menyengat, baju yang terlanjur basah akibat keringat, jadi tak begitu teringat. Memori-memori itu terpahat kuat, sebelum hari berganti dan menerjang lagi hidup yang berat.
(Pandhus)