Sejauh yang dapat kuingat, hari itu adalah suatu siang di kos tempat kami selalu berkumpul sehari-hari bicara bola di 2009. Satu dekade lalu terlewat. Hal yang pasti kuingat siang itu adalah bangunku yang tergesa-gesa di teras kos karena satu mimpi yang tidak pernah kuingin terjadi; PSS tertahan imbang di kandang melawan Persiku Kudus. Mimpi macam ini akan terlewat jika saja terjadi hari ini sebelas tahun kemudian, tapi hari itu sungguh berbeda karena PSS sedang berada di jurang degradasi dengan dua laga tersisa di akhir kompetisi fase grup dan Persiku adalah tim yang akan kami hadapi besok, kurang dari 24 jam lagi. Tentu saja mimpi ini kuceritakan ke beberapa orang yang ada di kos, awal sore itu. Aku tak ingat lagi raut wajah mereka kecuali perasaanku sendiri yang berdebar takut. Kecemasan ini menuntunku pulang malam itu juga dengan keputusan super cepat bahwa aku tidak ikut berangkat ke stadion bersama mereka besok. Mimpi banyak terjadi dan memang sedikit yang jadi kenyataan, tapi gambaran yang kuingat siang itu tentang papan skor 1-1 adalah hal buruk yang tidak pernah bisa hilang kecemasannya.
Sehari lepas mimpi itu, aku berangkat sendiri ke Maguwoharjo berjalan kaki, mencoba bernazar mana tahu mimpi itu tidak terwujud. Di tahun-tahun ini kemenangan belum jadi hal lazim di Maguwoharjo dan fakta ini menambah ketakutanku hal buruk terjadi. Berkumpul bersama teman-teman di teras tribun biasanya, mereka memahami kecemasanku dan tidak pernah bertanya lebih jauh kenapa aku memutuskan jalan kaki dari rumah sore itu. Sisa raut wajah mereka menyiratkan mari kita nikmati sore ini apa adanya hingga peluit akhir memutuskan di mana kita berpijak di akhir kompetisi. Hal-hal yang terjadi di menit-menit berikutnya adalah mimpi buruk yang terwujud. PSS bermain sungguh dalam kebingungan sementara gairah bermain Persiku sama sepinya. Kukuh bermain buruk sekali dan melewatkan tendangan bebas terakhir. Pertandingan tidak berakhir kemenangan untuk PSS dan degradasi adalah jurang dalam setapak. Wajah-wajah di sekitar kusam, sama kucelnya dengan jersey hijau di bawah sana yang tertunduk menyesali hasil hari ini.
Sehari berselang wajah-wajah di sekitar masih sama kusamnya dengan sore kemarinnya. Aku sendiri sudah kembali ke kos kami karena kecemasan makin besar dan aku tak terlalu kuat menahannya sendiri di rumah. Kami berkumpul agak banyak malam itu lantaran gusar dengan klasemen. Tak banyak yang bisa dilakukan oleh kami sebagai suporter kecuali berusaha tidak lagi bermimpi buruk dengan botol-botol anggur tanpa cukai. Entah kenapa gelas yang berputar malam ini agak sendu sekaligus perlahan menguatkan hati masing-masing dari kami bahwa apapun yang terjadi 3 hari lagi kontra Rembang, PSS masih akan jadi harga diri yang kami semua perjuangkan semampu-mampunya. Entah siapa yang membuka pembicaraan malam itu, namun dengan segera kami menemui obrolan yang cukup serius untuk menjadikan laga terakhir musim itu sebagai kenang-kenang perjalanan terlepas apapun hasilnya. Dua hal tercetus begitu saja dalam tegukan anggur hitam, atau merah, atau yang mana saja karena kami berseling-selang meminumnya tanpa aturan; bahwa akan ada flare disiapkan untuk merayakan musim ini yang dilalui dengan jerih payah serta kami akan merelakan waktu tidur di pagi hari demi mendatangi PSIR di masa latihan mereka di Maguwoharjo pra-pertandingan.
Hari berikutnya adalah kerja bakti, kami berkumpul membuat sendiri flare kami dari bahan-bahan yang bisa kami kumpulkan dalam sehari, dengan resep turun-temurun dan kerja dalam diam. Jadwal latihan PSIR sudah dalam genggaman dan itu adalah sehari sebelum pertandingan resmi. Maka kami tidur nyenyak lebih awal malam itu. Bangun lebih pagi dan berbondong menuju stadion untuk melakukan teror pada tim musuh, memastikan mereka tahu bahwa sebelum Rembang melawan tim kami di stadion ada sekelompok pemuda yang sudah siap bertarung lebih dulu demi harga diri yang melekat sepanjang hidup. Kami berteriak, melempar apapun, mengejek sebisanya, dan hal-hal lain yang mungkin akan kamu cemooh hari ini. Tidak ada dalam pikiran kecuali jangan membiarkan mereka menikmati karpet hijau Maguwoharjo dengan nyaman. Deni Tarkas masih bermain untuk Rembang kala itu dan ia salah satu pemain yang menyaksikan bagaimana kami merusak acara latihan mereka pagi itu, sebab ialah yang membubarkan kami dengan berlari mengejar kami dengan batako dalam genggaman. Pagi yang sungguh kaotis dan hanya itu yang bisa kami lakukan.
Hari penentuan tiba sore itu dengan suara kami selantang mungkin,
Eksan mencetak gol pembuka.
(Tonggos/April 2020)