Lepas pukul 3 sore, sayup-sayup ajakan main mulai merambat dari pintu ke pintu di gang kecil minomartani. Entah di depan rumah atau di halaman Masjid Jami’, sepakbola digelar tak lama berselang dengan format paling sederhana: gawang sandal. Anak-anak kecil seusiaku waktu itu jarang sekali melewatkan sore macam ini, kecuali diinterupsi musim layangan yang membuat separuh populasi kadang gregetan mengejar gabulan. Tapi tak bisa dipungkiri itulah sore sepanjang tahun yang sayang jika terlewatkan. Hujan tak pernah jadi soal karena di kepala kami 20 tahun lalu, David Beckham dan Hendro Kartiko tetap bermain apik dalam deras dan rintik. Sepakbola berakhir saat tiba adzan dengan imajinasi permainan serupa idola yang jersey bajakannya dibelikan orang-orang tua di pasar, entah Inzaghi, entah Vieri. Makin kami menuju besar, sebagian dari kami mulai ikut sekolah sepakbola diantar ayah mereka dan berlangganan tabloid profil serta strategi. Tembok-tembok kamar segera menjadi galeri poster koleksi dan sepakbola tambah indah dengan andai-andai suatu hari bisa bermain sama ciamiknya seperti mereka, atau setidaknya meniru beberapa aksi.
Tapi tidak pernah begitu buatku.
Sepakbola tidak biasa kami bicarakan di rumah, ayahku bahkan tidak setuju aku menonton sepakbola di televisi, apalagi sekadar usul ikut sekolah sepakbola atau minta jajan tabloid olahraga. Aku berhenti pada patungan majalah Bola hanya untuk ikut membaca, membiarkan kawanku mengambil poster untuk kamarnya. Atau di lain waktu pergi ke rumah Dimas, kawanku striker utama OCM junior di Liga Campina untuk membual tentang Liverpool dan Manchester United dari video bajakan highlight pertandingan yang dibelinya dari tabungan uang saku di salah satu gerai mall Galeria. Kadang-kadang sampai ketiduran di ruang keluarganya karena sudah hafal Ryan Giggs akan menyusuri sisi kiri dan melewati 5 pemain sebelum ceploskan bola dan selebrasi copot baju.
Sepakbola tidak pernah bisa menjadi satu novel yang panjang kubaca. Sembunyi-sembunyi dari kecil dan segala perabot tiba-tiba warna hijau sejak aku mengenal PSS membuatku membaca sepakbola sebagai prosa-prosa pendek. Aku membaca sepakbola sebagai antologi dari banyak cerpen yang selalu asik ketika pertandingan berikutnya akan mulai karena buatku akan selalu ada plot baru tiap peluit ditiup. Karenanya ia selalu menjadi ringan dan mudah untuk dibaca ulang saat kita mulai lupa detilnya. Kadang ingatan-ingatan itu terlewat dan terabaikan karena banyak hal terjadi setelahnya tak peduli itu tagihan awal bulan, atau tuntutan pekerjaan. Namun beruntunglah kita karena sepakbola mudah diingat kembali karena ada potongan-potongan cerita pendek tiap pekan yang melibatkan bermacam perasaan. Aku pernah mencoba melihat sepakbola sebagai bacaan panjang namun kemudian berhenti karena cukup gusar, “bagaimana membaca novel yang belum pernah tamat ceritanya?”
(Tonggos/April 2020)