Blogku yang lama, Ambisiotakkosong sudah lama sekali terbengkalai lantaran lupa password waktu kutinggal merantau ke Kalimantan Barat. Subuh tadi aku menyempatkan lagi mengunjungi blog lama itu, iseng saja untuk melihat sejauh mana aku menulis tentang sepakbola selama ini. Perhatianku tertuju benar-benar pada satu post dengan foto Sleman fans yang berjejer membelakangi lapangan seperti perayaan orang-orang Poznan. Tentu saja aku mencoba menggali lagi apa yang terjadi pada potongan foto kamera vga itu, hingga tertidur dalam kukuruyuk pertama.
Post yang menyita perhatianku ini tidak meninggalkan banyak jejak di rak-rak ingatan dalam otak karena dulu aku tidak memberi judul pada tiap tulisan sepakbola di blog lama kecuali nomor urut tulisannya. Salah dua clue yang tertinggal hanyalah foto itu dan tanggalnya, 2011. Isi tulisannya tidak menggambarkan detail apapun kecuali kemarahan dan kekesalan. Setelah berputar lama memanggil lagi ingatan, aku akhirnya benar-benar yakin bahwa itu adalah pertandingan divisi utama melawan Mojokerto. Maka dari situ aku menulis kembali kejadian yang sama, begini:
Sejak gagal masuk kualifikasi menjadi klub profesional di 2007, PSS terjebak di kubangan kasta kedua sepakbola Indonesia yang penuh lumpur, lapangannya dan pertandingannya. Kasta kedua tahun itu tidak semenarik sekarang-sekarang ini. Divisi utama adalah lembah tartarus yang gelap dan berujung air terjun. Sekali masuk dan berkubang maka keluar dari sana adalah keajaiban, tentu saja harus melalui pertolongan dewa-dewi olimpia alias nyaris mustahil. Apalagi dengan kondisi PSS yang tidak berdiri di kondisi geografis yang luas. PSS harus berbagi area dengan 2 klub lain yang mengakibatkan minimnya support segala lini terutama sponsorship dan pendanaan. Berangkat dari kesadaran itu maka suporter berupaya menjadi gila segila-gilanya dalam mendukung sepakbola lokal. Pun dengan tribun selatan.
Lawatan hari itu tujuan Mojokerto, yang sumuknya bikin frustasi bahkan sebelum pemain lawan menekan jantung pertahanan tim kami. Memulai peluit pertama dengan dehidrasi, suporter hanya bisa bernyanyi sekencang-kencangnya. Tribun tamu masih berupa dudukan semen khas stadion lama Indonesia seperti Tridadi, dengan jarak pandang cukup jauh ke arah lapangan karena penempatan tribun yang oval. Pertandingan berlangsung penuh depresi. PSS sebagai tim papan bawah tentu saja ditekan habis-habisan oleh tim tuan rumah. Hasil imbang di laga away adalah impian paling utopis di tahun-tahun itu. Kemenangan nyaris tidak bisa diraih kecuali hujan deras turun dan alam yang ambil alih mengatur skor. Tuan rumah sudah mencetak 2 gol mereka saat kami semua mulai tidak peduli pada peluit-peluit offside tiap kali tim kami menyerang. Para pemain sudah frustasi karena aegala serangan bermutu mentah di keputusan wasit. Kebetulan sekali aku naik memimpin lagu-lagu sore itu, teman-teman di tribun tidak lagi peduli pada hasil akhir nanti. Kedatangan hari ini di Mojokerto sudah cukup dalam hati, “bodo amat kalah yang penting menemani.”
Tentu saja kami masih bernyanyi kencang-kencang dan menghambur-hamburkan kertas yang sudah dipotongi malam sebelumnya di Sleman. Setiap peluit wasit menggagalkan serangan PSS lagi, kami semua tertawa karena memang apapun sudah tidak masuk akal di lapangan sana. Hingga gol ketiga untuk tuan rumah tercipta, kami akhirnya hilang kesabaran. Sepersekian detik dalam otakku hari itu mengajak teman-teman lain untuk membelakangi lapangan sampai pertandingan selesai. Mereka mulai berangkulan seperti Manchester City mencetak gol, selebrasi tiruan khas orang-orang Poznan. Buat kami akhirnya hari itu adalah hari kami menertawakan offside dan peluit-peluit tak masuk akal lainnya. Kami terus bernyanyi dalam sisa-sisa alkohol yang menggantung di sudut mata hingga pertandingan selesai dan berjanji satu sama lain untuk bertemu lagi di laga tandang berikutnya, yang mungkin saja juga berakhir dengan kekalahan yang sama. Tapi senyatanya hasil akhir tidak terlalu penting hari itu karena yang utama kami ada di sana, di jatuh dan tersungkurnya Superelja.
3-0 atau 3-1 ya hari itu?
Tonggos,
Mei 2020