Minggu-minggu yang gelap pernah mampir di Sleman untuk semua pengikut sepakbola Super Elang Jawa. Itulah tahun ketika satu tapak puncak kasta kedua dipertaruhkan, dalam semifinal melawan PSIS Semarang. Pendukung tim tamu datang berharap sama-sama bisa ikut dalam ketegangan suara radio RRI tentang tim mana yang lanjut menuju final dan dipastikan lolos ke kasta Liga 1. Sepakbola dinyanyikan dari jauh, dari Maguwoharjo, sementara pertandingan digelar di komplek AAU lantaran partai masuk kategori usiran dan harus dimainkan tanpa penonton. Brigata Curva Sud bersebelahan dengan Panser Biru yang datang dari utara, tiket-tiket tanpa penonton prakarsa BCS terjual, sementara kami semua mendengarkan sepakbola gol bunuh diri bagi kedua tim. Itulah satu hari dimulainya lorong gelap dan tak ada jalan keluar kecuali cemooh seluruh negeri.
Pasca 90 menit yang membingungkan itu, semua BCS tertunduk lesu dimanapun mereka berada. Aku sendiri hanya menghabiskan waktu penuh pertanyaan yang jawabannya tidak pernah memuaskan. Cibiran, ejekan, cemooh, terus saja berdatangan dan para pendukung sempat terbirit-birit bersembunyi seperti anak-anak sekolah kehujanan saat dipulangkan rapat guru. Beberapa pendukung menarik diri karena kecewa atas apa yang terjadi pada klub kecintaannya, aku sendiri masih di rutinitas yang sama tiap maghrib lewat isya, menuju Curva Sud Mart dan pesan kopi sachet, lalu cerewet apa saja sampai subuh tiba. Tapi ada satu hari yang lain seperti biasa saat Bagus, Divta, Kurniawan, Handug, Ridwan, kawan-kawan satu bandku juga kebetulan berkumpul di teras ruko yang sama. Kami masih menyesali apa yang terjadi namun Bagus berinisiatif ambil gitar. Beberapa chord mulai tersesat di jari-jari jahenya dan kami mulai masuk di zona waktu kami sendiri, melantun beberapa nada dan kalimat, mulai mencatat, dan asik di dunia kami sendiri karena ternyata lagu untuk PSS Sleman adalah terapi mental yang cukup efektif. Di sela-sela produksi lagu kami berhenti dan bertukar pandangan dan perasaan sejauh mana sepakbola aneh tempo hari mempengaruhi kami. Dengan keyakinan diri dan mental tidak tau malu, kami berjanji bahwa apapun yang terjadi kemarin, hari ini, dan kelak tidak akan membuat kami berhenti mencintai PSS Sleman. Muncul kesadaran bahwa lorong yang gelap sulit dilewati dengan berlari, mungkin akan lebih baik jika kami ambil langkah satu-satu yang pasti. Pelan tapi keluar, daripada cepat tapi terjebak. Maka lagu pertama di lorong gelap lahir malam itu:
“Langkah kecil kuberjalan, deru nafas ini kurasakan.
Jika harus kubertahan segalanya akan kukorbankan.
Setiap jejak yang kutinggalkan, menapaki harus kemenangan.
Superelja lihatlah kami datang di sini.
Menemani berjanji kamu tak kan sendiri.
Superelja lihatlah kami datang di sini.
Bersamamu semangatku tak akan berhenti.
Dan pastikan kami selalu datang melihatmu menang.”
Lepas satu lagi dibungkus dalam sepakat, kami melirik lagi jalan sepakbola musim ini yang sudah terhenti untuk kami. Nasib dan takdir PSS Sleman di musim berikutnya masih belum bisa dipastikan karena bayang-bayang hukuman berat sudah di depan mata menunggu hasil dan keputusan federasu. Gitar digenjreng lagi berharap masih ada sisa pikiran yang belum kelar. Mempertanyakan bagaimana dengan teman-teman di jauh yang mungkin malu atas semua ejekan yang datang dan tidak akan pernah kembali lagi di tribun, atau tentang kabar teman-teman lain yang enggan bicara tentang sepakbola, atau tentang kemungkinan-kemungkinan PSS Sleman tidak bisa bertanding lagi di besok hari. Kami yang memutuskan bertahan mendukung PSS Sleman akan menunggu semua orang untuk datang lagi mendukung kembali klub yang sama-sama dicintai, sambil lagu kedua lahir hampir di ujung malam:
“Sampai jumpa, di musim berikutnya.
Kita mulai lagi, kita bersorak lagi.
Menjaga asa tuk musim berikutnya.
Tegak kita berdiri, Lantang kita bernyanyi.
Sampai jumpa, sampai jumpa di sana.
Teman-teman bersamamu, kepalkan lagi tanganmu.
Sampai jumpa, sampai jumpa di sana.
Bersama saling menjaga, meraih mimpi juara.
Sampai jumpa kawanku, di tempat biasa kita bernyanyi bersama.
Sampai jumpa kawanku, di tempat biasa di tribun yang sama.”
Setelah hari itu, kami tidak lagi takut berjalan dalam lorong gelap. Karena sejauh apapun ketakutan dalam meraba apa yang akan ada di depan, cinta tinggal dalam hati. Para pendukung Superelja yang bertahan mulai berani berkorban, menerima semua ejekan, cibiran, cemooh, dan semua ujar buruk pada klub sepakbola mereka. Sejarah memang tidak bisa dihapus, tapi masa depan bisa digambar lebih baik. Seperti ditulis tebal oleh Eka, “cinta tak ada mati.”
(Tonggos/Mei 2020)