Di hari-hari padat kerja aku seberuntung hari itu, bisa minum anggur orang tua pada malam sebelum laga bersama beberapa kawan Sleman Bushwackers muda. Menyesapi kecut anggur sambil membayangkan bagaimana laga berjalan besok, ngawang total poin dan menduga-duga kekuatan lawan. Tertidur lebih lambat karena adrenalin yang terpacu, sedikit khawatir sekaligus deg-degan antusias. Di antara denting leher botol dan bibir gelas, yel-yel mulai terngiang di kepalaku. Tiba-tiba sudah harinya pertandingan dan diawali bangun kesiangan aku mulai lagi minum sebelum menuju Maguwoharjo, ciu dan arak Bali.
Seperti beberapa pertandingan sebelumnya, area parkir jaman dulu disterilkan dan berjalanlah kami bersekian sempoyongan. Sepi. Tak apa, pertandingan di tengah minggu memang bangsat. Tak banyak orang beruntung untuk hadir tepat waktu, terlebih jadwal kickoff sore. Ini sepakbola hiburan untuk siapa sih? Pesta rakyat di jam kerja, seperti festival kuliner di bulan puasa. Aneh memang badan liga.
Aku dan sedikit yang lainnya sudah di depan pintu loket lama yang sudah lupa fungsinya, mengobrol ini itu menunggu kumpulan membesar saat capo muda datang sendiri. Berjalan gontai saja dari jauh namun kebingungan. “Aku radang tenggorokan, mas.” keluhnya nyaris tanpa terdengar suara. Toleh kanan kiri aku tak menemukan sosok lain pengganti di 30 menit menuju peluit mulai. “Nanti kutemani.” reaksiku. Benar saja, akhirnya aku naik lagi di sini, di stager yang dulu akrab sekali jauh waktu dulu. Megaphone sepenuhnya kuserahkan pada capo muda. Ini waktunya dan waktuku untuk sama-sama belajar. Ia harus berusaha keras menggantikan karisma Heri Batak, sementara aku dan yang lainnya di tribun belajar menerima regenerasi yang cepat atau lambat harus disadari penting sebelum kita semua membosankan dan menjemukkan untuk para penerus.
Tribun masih sepi dan aku menemukan kesulitan yang sama sekali lain dari jaman sebelum ini. Gairah bernyanyi tipis sekali mungkin akibat panas yang terik. Aku dan capo muda menemui kebingungan tapi pertandingan terus berjalan. Menjaga gairah seberat ini kenyataannya. Sempat ragu dalam pikiranku, apakah tujuan orang-orang hanya sampai naik ke liga 1? Aku tak bisa mempercayai pikiranku sendiri berkata itu, tidak di atas sini. Kami berdua berdiri mencoba memecah kebuntuan lagu apa yang harus kami pimpin sementara tim bermain nyaris tanpa gairah di separuh pertama. Aku sendiri tidak diajarkan untuk berhenti oleh para pendahulu, tidak sekalipun oleh Gobeer atau Galih, atau Adityo. Tidak ada dari mereka mengajarkan untuk diam di antara tiup peluit wasit yang menyebalkan.
Paruh kedua menjanjikan gairah lebih saat Brian masuk dan mengubah arah permainan, beberapa peluang dicoba dan orang-orang yang berdiri tampak lebih menyala matanya. Semula yang lesu tersihir harapan. Aku tersenyum dari atas sini, “ini dia” batinku. Sorak demi sorak dihantarkan ke karpet hijau di bawah sana hingga gol penyeimbang tercipta. Meledaklah rasa kecewa, skornya berbagi satu sama dan kami makin habiskan suara.
Sekalipun hasil berakhir tertunduk, imbang di kandang sendiri. Aku masih menaruh percaya pada kalian, para sebelum ini, para hari ini, dan para hari esok. Liga 1 bukan tujuan, kasta tertinggi ini adalah resiko dari apa yang telah lama kita perjuangkan, demi melihat tim yang kokoh bermain dengan rasa bangga. Dengan para pemain yang berlaga sepenuh hati, sadar penuh arti sepakbola bukan untuk dirinya sendiri tapi juga untuk kita semua yang masih setia. Bahwa liga 1 bukan garis akhir, melainkan pintu gerbang ke panggung baru yang butuh ketekunan lebih dari yang sudah-sudah kita semua lakukan. Pikiranku sekejab terbawa pada malam sebelumnya, mengikuti sepakbola seperti aku minum anggur. Aku mudah mabuk tapi sulit berhenti.
Kuharap kalian juga.
(Tonggos/September 2019)