Banyak petang sudah terlewatkan, lantunan bait penutup pertandingan jadi tak lebih menyenangkan. Redup, banyak sore ditutup dengan kekalahan. Beton tinggi gagah melingkar seketika bak tumpukan kalimat penyesalan, jala gawang lebih sering disapa oleh tendangan striker tim lawan, dan bangku cadangan banyak ditempati oleh sekumpulan pecundang. Sleman setengah musim menjalani pertandingan berkawan pada mendung kesialan.
Rapalan doa baik dan keyakinan meraih kemenangan mudah terjegal oleh permainan yang menyebalkan, sebelas orang bak badut di tengah lapang. Kiper gagal bermain build-up, bek tengah tua yang sudah paham “liga”, bek sayap yang nafasnya tak sampai di empat puluh menit pertama. Belakang bak campuran tak kasat mata. Tengah elegan gaya rambutnya, semua klimis tergendong orang Argentina. Tumpuan depan hanya pada anak muda asli Wonosari, kiri-kanan lupa semua gawang yang mana, mengarung liga dengan pemain seadanya. Entah apa, entah bagaimana, atau entah pelatih, entah pemain, atau entah para rombongan bajingan sing durung keconangan.
Klub seperti disetir dalam gerbong tanpa tujuan. Bukan, bukan, bukan, justru ini lebih mirip gerobag yang dituntun kawanan “sapi”, wajar permainan ya hola-holo tak karuan. Berkawan dengan nasib buruk dan akrab pada kesialan. Harapan-harapan pupus pada ketuk drum yang semrawut tiba-tiba karena gawang sendiri kebobolan. Kejebolan. Tiba-tiba angka bertambah untuk tim musuh dan klub ini menjadi perahan poin di ladang liga. Tak ada yang subur kecuali caci-maki saban minggu.
“Bajingan kata gua mah”
Oleh: Carang dan Tonggos