Sepotong Timun dan Gonggongan Anjing Liar

Suatu malam di Gunung Gamping, beberapa tusuk sate dan seporsi nasi angkringan terasa lebih lengkap dari biasanya. Kursi-kursi berjejer rapi, semakin malam suasana makin ramai. Di kanan dan kiri, tampak wajah-wajah optimis tanpa sekat.

Ambarketawang menjadi tempat awal untuk menunjukkan kesiapan tim, kali ini diwakili oleh manajer, Leo Tupamahu.
“Ndrawasi waktu jadi pemain belakang, masa iya ndrawasi juga pas jadi manajer?”. Kalimat pembuka itu jadi awal dari rasa campur aduk—antara harapan dan kekhawatiran.

Sementara dari sudut lain, presiden direktur bicara lantang soal target masuk enam besar. Gaya bicaranya besar kepala, penuh sesumbar, seolah-olah ia sudah mendatangkan pemain kelas dunia. Harga fantastis, tapi kelakuannya seperti orang yang lebih jago pamer di podcast daripada kerja nyata.

Pertandingan demi pertandingan berlalu. Kekalahan demi kekalahan datang. Pelatih baru, taktik yang tak berjalan. Gawang PSS Sleman justru lebih sering kebobolan. Laga terakhir melawan Madura memang membawa kemenangan, tapi itu tak cukup—tim tetap terdegradasi ke Liga 2.

Tak ada yang lebih menyebalkan dari rasa marah yang tak bisa dilampiaskan. Semua janji manis dan omongan besar dua orang itu terasa hambar. Duduk di kursi direksi hanya sebagai pelengkap. Lebih sering muncul di media sosial daripada terlihat bekerja nyata.

Malam ditutup dengan sepiring nasi goreng di pinggir jalan kota, pengganjal lapar yang sederhana. Di sisi piring, ada sepotong timun—entah penting, entah tidak. Di sekeliling, anjing liar menggonggong tak tentu arah. Suaranya keras, tapi tak jelas. Kami coba dekati, tapi malah takut dan menjauh.

Nasi goreng habis, timun tersisa. Ada pun tak apa, tak ada juga tak masalah. Sama seperti gonggongan anjing tadi—keras, tapi tak jelas arahnya. Malam makin larut, dan kami pun pulang.

Kami pulang dengan perasaan seperti orang bodoh—yang ternyata sama tak pentingnya dengan dua orang yang duduk di kursi direksi itu. Hanya bisa bicara lantang, tapi tak menghasilkan apa-apa. Kerjanya cuma menyusun kata-kata sekeras gonggongan anjing penakut tadi malam.

Tak ada yang spesial dari nasi goreng dan gonggongan anjing itu. Tapi semuanya kami telan dalam-dalam. Karena begitulah kenyataannya: tim ini pulang dengan kemenangan… dan degradasi yang menyakitkan.

Oleh: Carang
Poster: Bangun