Sementara sepakbola berhenti berkali-kali, klub ini yang masih sama, ngona-ngono wae. Bersamaan dengan usaha-usaha di lapangan adalah tarik nafas panjang. Setiap gerak-gerik menjadi tarian tragis yang mengecewakan. Pekan demi pekan, kegagalan demi kegagalan, dan kekalahan demi kekalahan. Bingung untuk menempatkan kekalahan di bagian mana, takdir yang kejam atau kenyamanan pemain menjadi bahan lelucon dan cemooh. Sepakbola yang seharusnya menjadi pesta untuk klub ini tak lebih dari prosesi pemakaman yang muram.
Lima pertandingan tak pernah dimenangkan, para pemain bak pecundang. Pemain belakang bertubuh besar, ditemani beberapa pemain “tua” yang kenyang pengalaman, oper bola sekedar konten media latihan. Ifan Nanda, semoga kamu tetap baik-baik saja, bermain reguler hari ini dengan 5 kekalahan, pujian-pujian akan menjadi angin lalu. Kenyang pengalaman berteman dengan kembung minuman keras tiap malam. Kiri dan kanan nafas setengah lapangan, turun ke pertahanan tarik baju lawan.
Dari tengah, orang Palestina baru, “ya cuma begitu”. Paspor Lebanon, kartu kuning lebih banyak dari bermain tenang, bagaimana bisa dibilang sehat, kesana-kemari hanya kejar pantat. Kim, ban kapten itu tersemat, berat? Coba ceritakan apa yang menjerat. Tuah orang-orang lama juga begini-begini saja, Tuharea tak menjanjikan dibanding yang lama. Milla, mentok ya? Dua anak muda Papua, ngototlah seperti biasanya. Bokhasvili, beer dingin hari ini tak senyaman musim-musim lalu, peluang tercipta berakhir dengan umpatan saja. Pekik-pekik doa dan ucap harapan ternyata hanya sampai kau bisa, menunduk setelahnya.
Proses dan progres, kurang maksimal, psikis dan konsistensi, dan semua terangkum dalam cangkeman thok. Menjawab kemarahan dengan pion baru, kalimat positif dan harapan baik ia tulis dalam cuit, kedepannya adalah hasil baik. Tak usah kau tulis, kami pun paham lek. Tapi cem mana lah preparing something juga kek gini mainnya.
Tandang ke Tangerang, apa yang lebih besar dari nama PSS Sleman? Jawaban Nampak jelas di lapangan, banyak yang datang menyaksikan. Teriakan dan dukungan seperti tak didengarkan, dicampakkan. Enam sembilan, kamu tak lebih besar dari nama PSS Sleman. Atasnama Laskar Sembada dan lima laga kekalahan, kalian bak pecundang yang nyata-nyata kasat mata. Menunduk kepala dan tak pernah kembali dengan panji Sembada di laga selanjutnya, ungkapan menyesal tak pernah terdengar seperti seharusnya. Bagaimana bisa kami menaruh hormat jika banyak hal terlihat keparat?
Untuk setiap pekan selanjutnya, harapan selalu muncul sebelum peluit dibunyikan meski akan menjadi kosong, tepat ketika pertama kali bola menyentuh kaki. Bisa saja tambahan porsi latihan akan memperbaikinya. Bisa saja Tuhan akan menghendaki poin penuh seandainya keagungan-Nya cukup digdaya membantu klub ini. Namun, dalam dunia yang menghukum kegagalan, sepertinya, kalian memang benar-benar payah.
Bayangkan, kabar-kabar buruk datang bertubi untuk orang-orang yang mendoakanmu baik dari dekat dan dari jauh. Jumlahkan dengan harapan-harapan yang runtuh di peluit akhir. Kalikan dengan jejak-jejak langkah mereka yang tumbang lebih dulu sebelum hari ini. Tambahkan lagi dengan mereka yang masih setia menjejalkan namamu di doa-doa sebelum partai selanjutnya. Lantas beri kami alasan, kenapa kami masih harus mencintaimu selain karena wes kebacut.
oleh: dibataspagar