disclaimer: Pandhu pikirannya kacau antara yang indah dan yang rumit dalam sepakbola, tapi untung masih cinta.
Ketika tengah menjejakkan kaki di tangga melingkar pojok stadion, dada sontak berdegup kencang, hasrat kegembiraan penuh bangga dan keharuan turut datang bak anak kecil yang diiming-imingi es krim keluaran terbaru. Gerbang menuju hamparan tribun dan hijau lapangan adalah awal lekasnya doa, bahkan sebelum Marcello Braga atau Alm. Souleymane Troure melakukan lari-lari kecil dengan kostum istimewanya. Tua-remaja, laki-wanita bersiap menitik fokuskan pandangan. Banyak yang duduk, tak sedikit yang berdiri, pagar perak belum karatan tegak menjadi saksi. Masing-masing besi menjaga diam-diam pondasi, menyekat tribun dan arena bertarung. Di sudut barat terlihat Pak Kabul melanglangbuana kesana kemari berbekal perkakas berupa arem-arem, tahu, dan aqua gelas dua ribuan tiga.
Rudy Keltjes mengumpulkan anak buahnya jelang pengadil lapangan meniupkan peluit dimulainya kontes. Topi lawasnya kerap dicopot untuk sekadar menggaruk kepalanya yang gatal akibat kedatangan tim-tim yang berkomposisi lumayan. Kurniawan Dwi Yulianto yang sempat berseragam Hijau harus dihadapai dengan kesabaran utuh, Coach Rudy tak gugup ketika anak asuhnya harus bertemu juru gedor lain bernama Julio Lopez dari Mahesa Jenar. Petarung-petarung pembawa lambang Candi di dada sama sekali tidak minder ternyata, diberkati keagungan Merapi tamu-tamu yang hadir ke Maguwoharjo dijamu dengan lugas tanpa belas ampun. Si raksasa Oyedepo tak berhenti mengaum sembari mengingatkan Choirul Anam, ia paham dan melihat bagaimana Jajang Mulyana yang diam-diam menyelinap di sepertiga lapangan. Cak Mad ikut berlari masuk lapangan waktu Agus Purwoko nampak kesakitan sehabis diterjang Adolfo Souza.
Pertandingan, chaos antar pemain maupun suporter, pengadil yang tak adil, lemparan botol, nyala kembang api, tiket karcis, kekalahan, kegembiraan, dan lain-lain, dan sebagainya, turut serta terekam di kepala. Sepakbola tetaplah sepakbola, tapi PSS kini jauh beda, tidak baik-baik amat justru sedang sakit akut tingkat dewa.
Sepakbola di kampung halaman bercerita akan banyak hal, menampung segala emosi, mengarungi waktu-waktu kecil yang berharga, pengalaman spiritual tanah Merapi dan Maguwoharjo membukukan rasa bangga. Namun sekarang, perasaan-perasaan melankolis yang aku -dan mungkin banyak orang- bayangkan jauh dari harapan. Kini menilik PSS rasanya semakin pahit dan getir saja. Terbaru, lima hari jelang liga malah dihiasi berita mundurnya pelatih kepala. Kurasa, lagi-lagi, ia tak dapat kebebasan dan kerap dapat intervensi dari elit klub. Kenyataan tersebut pasti berpengaruh pada tim dan kesiapan pemain.
Kebodohan dan hal tidak logis yang sudah terjadi belakangan turut memecah opini publik Sleman Fans. Kritik dianggap menjatuhkan, padahal kritik yang berdasar adalah perkakas suporter. Yang menyedihkan kritik ini justru dikerdilkan oleh sama-sama sipil. Ketidaksiapan, berita miring, dan rumor menyoal PSS makin bikin rumit saja, membuktikan bahwa elit klub tidak bekerja dengan tulus. Investor baru belum juga menampakkan batang hidungnya, 8 tuntutan tak setitikpun menemui terangnya. Jika kondisi masih sama, bukankah menarik sikap boikot sama dengan membiarkan duri beracun di tubuh PSS?
PSS yang jadi kegembiraan para pengagumnya terasa semakin berat dan kian tak tertanggungkan. Banyak yang mencoba bertahan sekuat-kuatnya, mengandalkan satu-satunya perkakas yang tersisa yaitu keyakinan. Berbahagialah mereka yang masih yakin dan percaya kemenangan bukanlah sesuatu yang utopis. Sebab kemenangan dan perlawanan itu sepasang. Hari lepas hari, lagi-lagi harus mengeluarkan jurus andalan: menunggu.
(Pandhus/Februari 2020)