Lucha Con La Pasión: Sebuah Perspektif dari Seorang Outsider

Perjuangan bukan hanya saja berbicara mengenai amarah dan kemenangan, namun di balik itu semua ada jiwa, gairah, emosi dan hasrat untuk terus memperjuangkannya. Pertemuanku dengan ini, bermula ketika aku menemukan PSS Sleman. Aku yang notabene merupakan seorang perantau dari Jakarta begitu terkesima dengan perjuangan yang selama ini telah diperjuangkan oleh para suporter Sleman, dalam hal ini PSS Sleman.

Bermula dari ajakan teman untuk datang ke acara ulang tahun Brigata Curva Sud di Stadion Maguwoharjo, perlahan mulai membuka jalanku menuju kecintaan. Selepas acara, ada satu benak keingintahuan akan PSS beserta dinamikanya. Dari segala kalangan usia, ras, dan gender berkumpul menjadi satu bernaung di bawah kebanggaan. Kecintaan terhadap sesuatu pasti bermula dengan perjumpaan pertama. Aku yang dilahirkan di Medan, menemukan cinta pertamaku, yakni PSMS Medan. Namun seiring berjalannya waktu kepengurusan dan dinamika tidak membuahkan suatu hasil yang baik.

Aku terus menempuh jalan pencarian cintaku yang lainnya. Dinamika yang terjadi di Jakarta pun juga bukan merupakan diriku. Sampailah pada saat aku bertemu dengan PSS dalam suatu acara nobar di kawasan Babarsari, Sleman. Malam itu PSS bertemu dengan Persebaya dan berujung pada kekalahan. Kondisi pada saat itu, ada banyak kekecawaan, kesedihan dan harapan di mata setiap yang datang. Tatapan nanar melihat layar, menjadi suatu amarah dan pada malam itu kami sepakat untuk datang ke Omah PSS. Sesampainya di sana nampak mobil patroli polisi sedang berjaga di depannya. Lalu muncul pertanyaan di dalam diriku “lho ini kan rumah PSS, kenapa ketika suporter yang merupakan bagian dari PSS dan datang ke rumah PSS harus dijaga oleh polisi?”.

Terjadi dialog antara suporter dengan pihak keamanan. Ada suatu kejadian yang membuatku tertegun dan menjadi titik balik dari kehidupan saya. Seorang petugas keamanan di sana mengungkapkan keresahannya “saya sebenernya juga mangkel ngeliat PSS kalah, tapi gimana lagi mas saya kerja di sini”. Saya langsung tertegun, ini merupakan titik kecintaan yang dikalahkan oleh keadaan. Ada pertalian yang kuat antara suporter Sleman, ada rasa kebanggaan yang tinggi dibalut solidaritas di antara mereka. Keresahan-keresahan mereka ditumpahkan di sana, namun pihak manajemen tidak menggubris.

Berpulangnya saya dari sana membuat kepala bertanya-tanya, apa yang membuat mereka sebesar ini cinta dengan PSS? Mengapa mereka merelakan jam tidurnya hanya demi mengurusi klub bola? Terjadi suatu dialektika di dalam kepala yang berujung pada pertemuan saya dengan para suporter itu sendiri. Konklusi dari diskusi itu buntu, tidak ada yang dapat merasionalisasikan rasa cinta dan bangga pada PSS Sleman. PSS bukanlah sebuah klub yang lama, PSS pun dalam perjalanannya tidak sebesar Persija Jakarta, Persib Bandung, Arema Malang, Persebaya Surabaya, dan lain-lain. Akan tetapi ada suatu hal yang belum pernah aku temukan di manapun, yaitu rasa cinta yang tulus dan luhur. Perkembangannya pada saat ini dihadapkan dengan modernisasi sepak bola (modern football). Sebuah klub bola yang ada di Indonesia pasti identik dengan wilayahnya masing-masing.

Boleh dikatakan relasi antara klub-suporter-daerah merupakan aspek yang berkaitan. Modern football mengamini pemindahan home base secara mudah, modern football merasa bahwasanya tim hanya dapat diutak-atik oleh manajemen beserta tim pelatih tanpa adanya intervensi dari supporter. Pada akhirnya kita sampai pada pertanyaan, modern football itu untuk siapa? Ketika pihak manajemen memandang supporter hanya sebatas komoditas, menurut saya itu merupakan bentuk pengkhianatan yang sangat keji.

Pada hari ini, suporter PSS Sleman dihadapkan dengan permasalahan tersebut. Revitalisasi sebuah klub, tidak bisa memotong peran suporter di dalamnya. Frasa “Suporter adalah pemain kedua belas” sudah tidak relevan dalam konteks modern football. Kehadiran suatu klub dan dukungan dari suporter adalah hubungan yang sakral dan harus bebas kepentingan pasar. Kolektif-kolektif suporter PSS Sleman tidak hanya diam, mereka mengerti bahwa perlawanan tidak bisa hanya sebatas menyerang dan membakar. Namun ada nilai-nilai yang ditanamkan di antara mereka melalui literasi dan diskusi-diskusi pada akhirnya membawa kesadaran kelas di tengah-tengah mereka.

Sepak bola adalah olahraga yang merakyat dan lekat dengan masa kecil kita. Namun apabila sepak bola itu telah dirampas dari, maka habislah kesenangan kita. Pada hari ini, kawan-kawan sedang memperjuangkan kesayangan mereka di kanal-kanal lainnya. Menghayati lirik dari anthem Sampai Kau Bisa, bisa saya simpulkan itu bukan untuk PSS dalam konteks hari ini. Lirik itu merepresentasikan kecintaan, loyalitas, dan gairah. Perjuangan kalian telah mengetuk hati saya dan menarik saya kepada memori masa lalu, di mana permainan sepak bola di sore hari merupakan sebuah kemewahan.

 

ditulis oleh: Farhan Syahreza

Recent Posts

Social Media