Ada beberapa catatan di blog lamaku yang masih menarik perhatianku lagi tentang apa yang kutulis, selain isinya cacian anak muda dan ultra-proud pada klub kesayangannya. Satu catatan dengan nomor #7 dimulai dengan sebuah catatan tentang suporter yang gemar berjingkrak di atas tribun, entah itu loncat-loncat, atau bergeser ke kanan-kiri tidak beraturan, dan lompat-lompat aneh lainnya sembari pertandingan berjalan di lapangan sana. Tertulis begini, “Saat kita bernyanyi di atas tribun, saat kita berjingkrak pula, sebenarnya kita tau kita berhadapan dengan kelelahan. Tapi itulah cara kita menjawab kenikmatan dalam kesetiaan.” Kalimat macam begini mengingatkanku pada tulisan-tulisan naif dulu sewaktu aku baru-baru benar mencicipi sepakbola dalam negri.
Merasakan 90 menit yang intens benar-benar. Ketegangan-ketegangan yang nyata pada menit per menit. Oleh karenanya, orang-orang yang memimpin lagu di atas pagar tidak pernah punya set list lagu dan yel apa yang akan ia pimpin pada rombongan suporter secara berurutan. Capotifo tidak bisa membuat urutan itu karena ia harus menyesuaikan lagu dan yel sesuai apa yang sedang terjadi di lapangan hijau. Ia tidak akan bisa sesiap band-band kondang yang sudah berlatih dan menentukan lagu-lagu pilihan mereka untuk dikumandangkan di alun-alun akhir pekan. Akhir pekan untuk sepakbola adalah nada-nada yang dipikir instan urutannya. Jika skor masih sepi maka lagu-lagunya ini, jika situasi memimpin angka maka asik kita nyanyikan itu, jika kondisi tertinggal maka sebaiknya kita nyanyikan yang lain.
Itulah kenapa di antara mood yang mudah swing di atas tribun mengikuti alur sepakbola di lapangannya, berjingkrak sambil bernyanyi tidak pernah kehilangan nilainya secara utuh. Saat situasi imbang maka berjingkrak akan ikut menyemangati para pemain supaya lebih semangat, saat memimpin maka berjingkrak menjadi selebrasi paling absolut, saat tertinggal membuat berjingkrak menjadi sebuah statement “kami belum selesai dan masih akan berjuang” pada para lawan. Kekalahan di Rembang, kekalahan di Kudus, kekalahan di Malang, dan banyak kekalahan-kekalahan lain di sepuluh tahun lalu meninggalkan kesan yang sama bahwa tribun selatan adalah kumpulan orang yang gemar bernyanyi dan berjingkrak kesetanan bak kuda lumping apapun yang terjadi. Tribun selatan dikenal orang-orang lewat hal-hal yang dilakukannya selama hampir satu dekade ini.
Entah itu karena pyroshow melingkar stadion, entah karena koreografi macam layar lcd yang rumit, atau karena hal-hal apa saja yang terjadi kemudian. Tapi buatku berjingkrak adalah alasan pertama bagaimana orang-orang mulai mengenal tribun selatan. Bahkan sebelum kelompok pembangkang ini punya nama, kumpulan orang gila macam kami adalah yang akan terakhir berhenti bernyanyi. Sebelum peluit benar-benar dibunyikan wasit menutup pertandingan berjalan, maka perjuangan hari itu belum selesai sama sekali, dan bernyanyi sambil berjingkrak adalah apa yang akan kami lakukan dalam situasi apapun.
Begitulah kita semua dikenal orang.
Dan begitulah sampai kita semua akan berakhir.
Dalam kesetiaan yang nikmat.
Tonggos,
Mei 2020