Roh si Tua Tridadi Memberkati

Hari masih terlampau pagi untuk kami yang seharusnya masih terlelap di harinya sepakbola. Nanti malam adalah pertandingan yang ditunggu setelah sekian lamanya jeda internasional dan PS Sleman sudah dirindukan sejatinya sepakbola di rumah sendiri. Beberapa hari sebelum ini pesan-pesan kerinduan tentang pertandingan sudah kebak di lini masa. Sungguh, teman, hari-hari libur sepakbola sama seperti anak SMA menunggu hasil ujian nasional. Separuhnya sepi, separuhnya khawatir, ramuan ini kumplit mbededeg ing ati. Tapi hari ini, kami berkumpul lebih pagi dari biasanya. Tidak di Maguwoharjo. 

Menuju akhir pekan kemarin sebuah kabar pelan berbisik, seorang suporter di bawah umur diangkut dari rumahnya karena mengkritik pemilik klub lewat poster. Ia dianggap melakukan pencemaran nama baik. Kabar ini tersimpan rapi mengingat butuh strategi dalam melumpuhkan kuatnya hukum. Beberapa hari tidak kunjung muncul jawaban akurat untuk menyelesaikan persoalan hingga tipis-tipis bocor kabar ke banyak orang. Mau tidak mau lini masa banjir empati satu hari sebelum pertandingan. Terbitlah tagar #bebaskanyudhiatauboikot yang dengan segera mendominasi hal-hal populer lainnya hari itu. Tidak datang dari Sleman saja, suara dukungan lahir dari banyak sisi suporter lainnya di Indonesia termasuk beberapa kelompok suporter yang tidak baik-baik saja hubungannya dengan kami. Penangkapan ini dipandang sebagai bentuk kuasa yang mematikan suara suporter, juga preseden buruk untuk suporter lainnya di kemudian hari. Beruntunglah kami tidak bergerak sendiri seperti orang gila di negri ini.

Malam sebelum pertandingan yang sewajarnya dilalui dengan nyanyi riang menyambut sepakbola tidak terjadi kemarin, justru para manusia berkumpul ramai membicarakan pembebasan Yudhi. Sebagai satu keluarga, inilah yang memang harus terjadi menurutku. Tribun selatan setuju untuk bergerak memaksa pembebasan malam itu, bergerak merambat menuju kawasan Tridadi, si tua Tridadi. Entah kenapa stadion tua ini selalu menjadi saksi bagaimana Sleman mendobrak. Jika dulu, kami melakukan march menuju rumah bupati untuk mendesak ketegasan para manajemen lama menyikapi dualisme yang merongrong Superelja bersama almarhum Babe dimulai dari Tridadi pula.

Menjelang tengah hari berbuahlah kabar baik. Yudhi dikembalikan ke orangtuanya dengan status penangguhan penahanan. Kami yang menjemput sedari pagi lantas berkumpul di Tridadi untuk berbincang kemudian, tentang bagaimana menyikapi pertandingan malam nanti. Meskipun belum sepenuhnya berhasil, tetapi roh Tridadi menyertai kami sekalipun sudah lama ditinggalkan. Duduk kami siang itu ramai-ramai di dalamnya, bersama banyak memori tentang dulu. Tentang Ligina dan gol-gol Marcelo; osak-asik Deca, Seto, juga Anton Hermawan; tegapnya Oyedepo dan sigapnya Bagong, kuatnya lini belakang dalam pengawasan Kahudi, dan banyak nama-nama lain yang disorakkan. Suara-suara riuh itu muncul di ingatanku membayangkan dulu. Jauh sebelum berdiri Sleman City Hall yang sekarang jadi latar belakang papan skor. Jauh sebelum si pemodal datang menguasai klub ini. Tridadi mengingatkan lagi bahwa PS Sleman memang dibangun dari semangat para penggawa dan pendukungnya, bukan dari investor kaya yang kapanpun bisa semena-mena.

Aku begitu mengagumi Tridadi dalam banyak hal. Ia adalah perwujudan animisme dan dinamisme sekaligus. Si tua Tridadi menghadirkan roh-roh kejayaan Sleman. Segala yang terekam di Tridadi seperti air terjun yang deras arusnya. Ia bisa saja menyegarkan, bisa saja menenggelamkan. Si tua ini selalu menjadi bagian dari bagaimana suporter PS Sleman mengukir langkahnya. Walaupun kami telah berpindah ke Mandala Krida kemudian Maguwoharjo, Tridadi tetap tinggal di sana seperti orang tua yang menunggu anaknya pulang dan sambat tentang hal-hal rumit di rantau. Ia tidaj menggerutu, ia tidak marah. Tridadi tetap di sana. Mendengarkan kegelisahan kami sambil seolah mengangguk pelan dalam ketenangan usianya. Ratusan kami yang duduk di dalamnya siang itu mungkin merasakan hal yang sama tentang bagaimana Tridadi begitu mengayomi anak dan cucunya.

Si tua ini adalah roh yang tinggal, sekaligus adalah tempat bersemayam semangat yang terus coba digelorakan di bumi Sembada. Jika kamu lupa bagaimana berjuang dan mengukir cerita, mampirlah ke Tridadi dan kamu akan merasakan hati yang berdetak berbeda dari biasanya. Tridadi riuh sekaligus sepi. Ia riuh dalam ingatan, tapi sepi sehari-hari. Tak apa, ia tidak memerlukan lagi pesta untuk merayakan namanya. Ia telah tinggal jauh dan dalam di benak orang-orang. Tridadilah sebuah jawaban untuk pencari ketenangan. Tridadilah pemantik bagi mereka yang meneriakkan perjuangan. Ia tak pernah mati. Jangan sampai mati. 

Tonggos,

November 2019

Recent Posts

Social Media