Bundesliga mulai tanggal 16 di tengah covid-19 yang masih gentayangan di muka bumi. Banyak orang -di Indonesia- menantikan gelaran partai-partainya. Ekonomi sudah lama tersendat dan mungkin judi bola adalah solusi paling masuk akal menjelang hari raya Idul Fitri di antara THR yang mungkin tidak menuju rekening dan gaji yang terbayar separuh saja dan mungkin juga cupet karena diberhentikan dari pekerjaan. Kemarin-kemarin aku sempat iri karena Jerman sudah bisa lebih dulu memulai sepakbola lagi, menyiarkan lagi olahraga paling heboh di jagat raya sementara Indonesia masih bingung menentukan sikal antara pulang kampung atau mudik. Sepakbola Indonesia berhenti tanpa pengumuman kapan bisa dimulai lagi karena memang si virus masih entah hinggap di mana. Malam ini gelaran sepakbola itu dimulai dan aku mencoba mengikuti apakah sepakbola benar dinanti sebegitu rindu.
Pertandingan dimulai seperti biasa dengan peraturan-peraturan yang sama, dengan racikan strategi seperti tidak ada bencana yang sliweran mengganggu sampai satu gol tercipta. Selebrasi gol dirayakan dalam frase distancing yang aneh. Merayakan gol sendiri-sendiri, baik di lapangan hijau maupun di rumah masing-masing. Apakah orang-orang Jerman merayakan gol tim sepakbolanya di rumah? Stadion yang sepi dan selebrasi gol pribadi yang kutonton malam ini tadi seperti bukan selayaknya sepakbola.
Setauku, sejak Fergie Suter dan Arthur Kinnaird berdiskuis tentang final FA, sepakbola adalah milik orang banyak. Milik si empunya bakat, milik si jenius taktik, milik si pengusaha royal, milik masyarakat yang loyal. Hal ini tidak nampaknmalam ini di Bundesliga. Sepakbola dimainkan di atas tebal buku peraturan sebagai olahraga saja, tidak sebagai hari raya yang dinikmati berkahnya oleh orang-orang. Aneh sekali menyaksikan sepakbola seperti ini, yang tidak boleh dihadiri para pendukungnya, yang golnua tidak boleh dirayakan bersama-sama, dan orang-orang hanya menatap televisi mereka. Mungkin sambil menggerutu seandainya mereka di sana. Sepakbola memang tidak seharusnya berada di televisi menurut hematku.
Sepakbola seharusnya memang dinikmati di stadion, atas nama ketegangan 90 menit dan gelora yang melingkar di tribun-tribun mana saja. Pun tanpa lawatan suporter tamu, yang mungkin was-was suporter tuan rumah menghadang, atau tanpa suporter tuan rumah yang sejak malam sebelumnya bingung memutuskan koreografi apa untuk partai hari ini. Sepakbola di televisi hanya asik untuk kepentingan judi, itupun kalau voormu menang. Rasa iri yang dari kemarin mampir di otak hilang seketika malam ini. Ternyata memang belum seharusnya peluit disemprit lagi. Tidak dalam kekosongan yang seluruh dunia saksikan tadi. Toh ternyata, para suporter klub bola Jerman juga ramai memprotes gelaran lanjutan liga mereka, spanduk-spanduk protes terbentang di stadion-stadion yang kosong dan di jalan-jalan menujunya. Seperti dalam salah satu banner Augusburg yang kutemui di lini masa, “Der Fussball Wird Leben, Ever Business Ist Kranky.”
Sepakbola akan tetap hidup, bisnismulah yang sakit.
Tonggos,
Mei 2020