Asmara dalam Tempurung

Satu botol lagi seperti tidak pernah cukup jika petang nanti adalah waktunya sepakbola. Sejak malam manusia-manusia penganut peluit panjang sudah berkumpul di duduk sila mereka masing-masing. Meneguk anggur dan handai taulannya sambil bernyanyi tentang PS Sleman, sesekali mencoba menerka pertandingan yang segera datang. Beberapa yang lain menyibukkan bersiar obrolan di radio bikinan sendiri, seperti aku salah satunya malam ini. Kami mengobrol panjang lebar tentang angan-angan, tentang hal-hal yang belum tiba, juga tentang yang lalu yang baik, yang melulu diharap coba berulang, tiga angka dan hura-hura pesta. Tidak pernah cukup membicarakan Superelja tapi beginilah memelihara gelora, dilakukan tak pernah cukup, ditinggalkan tak pernah bisa. Kecuali matahari terbit mungkin kami tidak bertolak pulang. Ingin melek saja terus, terus mencintai dengan cara ini. Ah bodo amat, anggur mengambil alih obrolanku dan pulanglah kami. 

Aku tidak sekali terlibat begini, porak poranda pasca alkohol. Tahun-tahun sebelumnya juga kerap begini. Diakhiri hal serupa, perihal PS Sleman yang penuh harapan tapi gagal dengan baik dikelola. Klub tanpa aset yang masih terseok bertahan, berjalannya pelan seperti perlombaan kelinci lawan kura-kura. PS Sleman selalu melangkah pelan di jalurnya yang lurus. Alon-alon waton kelakon. PS Sleman kerap kali ditunggu oleh para pendukungnya di ujung jalan. Sementara PS Sleman nggremet berjalan, pendukungnya berlari kegirangan setiap kali sepakbola tiba menyapa. Apa bisa buat, sekalipun kadang marah tapi suporter tetap harus setia menunggu. Terlebih musim pertama di liga 1 seperti hari ini. Betapa kesal para setia saat dana belanja yang digelontor terlampau minim, plus target sebatas bertahan. Tanpa greget yang menyertai, Superelja mengarungi liga penuh kebingungan. Cepat puas dengan hasil imbang dan mensyukuri kegagalan.

Jika tidak karena keberuntungan yang selalu dikutip pelatih, mungkin Superelja mengepakkan sayap lemah di dasar klasemen. Kabar baiknya, keburukan di kandang sendiri sedikit terbayar di rumah orang. Beberapa poin diambil sejauh ini di jauh, tambal sulam dengan hasil di Maguwoharjo. Oleh karenanya pula para pendukungnya tertahan untuk marah. Bertubi-tubi kecemasan diredam hasil baik sepulang perjalanan, walaupun kemudian menunduk lagi di kandang sendiri. Jika, jika saja poin tandang tidak terjadi, mungkin paruh musim sudah penuh percik api di lereng Merapi ini. Saat ini PS Sleman di sisa liga sudah duduk manis tanpa ancaman degradasi. Sementara para pendukungnya masih ingin berjuang lebih, timnya tembus target seperti sales duduk manis menunggu slip gaji akhir bulan. Tidak bisakah kita berjuang meraup poin lebih? Setidaknya berpesta di sarangnya sendiri sampai akhir musim. Orang-orang yang menunggu masih setia, menggenggam erat conveti yang melulu tertunda. Ah, andai saja kita merajai tiap pekan.

Sementara menunggu dengan sabar, sebenarnya tribun sudah kebak kejenuhan, sudah sesak kepenatan. Ingin meluapkan amarah tapi selalu berpikir dua kali lebih, menahan amarah dan kelimpungan dikekang “nanti tim kena denda”. Tapi mungkin memang musim yang aneh harus dilalui dengan extra sabar. Seperti malam-malam memabukkan sebelum-sebelumnya, kita tetap melakukan hal-hal yang biasa kita lakukan. Bicara apa saja tentang tim bola yang sangat dicinta, bernyanyi kencang seperti orang gila.

 

Tonggos,

Oktober 2019

Recent Posts

Social Media