Sayup-sayup pandemi mulai terdengar dari jauh ibukota, kami semua bergegas mengurung diri takut ia datang bertamu. Masa itu adalah masa paling tidak akrab antara aku dan kau. Setelah penampilanmu yang buruk di tiga pertandingan pertama 2020, di antara ketegangan kami dan keputusan-keputusan dari atasan yang tidak segera merawatmu dengan baik. Dan keputusan kami untuk datang berkunjung lagi suatu saat ketika sepakbola di rumahmu sudah kembali menjadi seperti yang sudah-sudah; yang mandiri, yang kokoh, dan yang bersungguh-sungguh. Liga Indonesia dan liga-liga lain berhenti hampir serentak sementara kita sudah tak berjumpa jauh sebelum kekhawatiran itu. Bagaimanapun kami kehilangan sepakbola lebih lama sejak hari itu tinimbang orang-orang lain di seluruh dunia. Bahkan jika ada satu hari liga dimulai lagi, belum tentu kami sudah berada di belakang gawangmu. Di rumah kami, juga rumahmu.
Meskipun begitu jauh antara aku dan kau hari ini, kami masih menyimpan perasaan yang sama padamu. Tidak berkurang barang sedikitpun. Bahkan jika tidak berjumpa berbuah rindu, mungkin kami lebih menyayangimu lebih dari saat kami melangkah pergi dulu. Tentu saja kami merindukan tepuk tangan yang semarak sewaktu para penggawa masuk lapangan berjejer bak tentara siap pergi ke medan perang. Tegap, menatap lawan dengan hidung-hidung mereka, sedikit sombong karena berisik kami -yang juga berisikmu- adalah pernyataan tak terelakkan untuk mengenalkan pada mereka “di sini rumah kami.” Siang siap-siap diganti, menjadi sore yang sakral sejak tiket-tiket kami disobek dan masuk ke lorong yang sudah sangat kami hafal. Sedikit pengap dengan cat tembok yang tidak pernah kelar. Pintumu menuju belakang gawang menyilaukan karena cenderung cerah di hati kami setiap kali kau berlaga. Waktu pemanasan sudah menyita perhatian, orang-orang yang datang mencoba menerka mana pemain yang sudah siap menjebol gawang lawan, atau mana pemain yang sudah siap hentikan rencana musuh untuk mencoba mengalahkan kita. Juga kadang menerka mana pemain tamu yang pasti nanti akan digilas oleh permainanmu.
Kadang pemanasanmu yang isinya skema umpan-tendang-gol sudah berhasil membuat gambaran di dalam kepala kami bagaimana pertandingan akan berlangsung. Jantung kami selalu berdegup lebih kencang di menit-menit itu. Sementara waktu tribun mulai berdesak-desakan terisi. Beberapa orang naik pagar dalam jarak-jarak yang rapi siap mengibarkan bendera besar-besar warna kebanggaanmu, sisanya berdiri tepat di belakang gawang siap dengan genderang-genderang yang nanti akan ditabuh kencang-kencang. Kadang kesabaran mulai habis dan kami sudah bersorak gol dalam latihanmu sebelum peluit panjang. Dalam hati, “andai gol-gol itu nanti terjadi.”
Tak lama setelah beberapa keringat kecil di pangkal rambut, para penggawa akan masuk kembali ke ruang ganti untuk instruksi lebih tajam berkaitan dengan sore nanti. Siapa main di mana. Di kirikah atau di kanan? Bertahankah atau menyerang? Atau duduk dulu sampai waktunya tiba sebagai senjata rahasia. Selagi kamu tak ada macam itu, kami sudah mulai bernyanyi-nyanyi lagu apa saja tentangmu. Apa saja. Apa saja asal itu tentang kamu menang hari ini. Harapan, doa, dan keyakinan mulai disusun rapi, bertumpuk pada bait-bait yang silih berganti tapi semua isinya kamu. Di Manchester sana, stadion diberi nama theater of dream. Di Sunderland, markas mereka dijuluki stadium of light. Walaupun di Sleman ia tak bertajuk sereligius itu, tapi kuyakin isinya sama. Bahwa namamu yang paling penting di dunia dalam 90 menit ke depan.
Setelah anthem federasi yang kami tidak pernah tau lirik dan bahasanya; yang kami terpaksa diam karena protokol entah dari siapa, semua suara yang tadinya lirih sudah siap jadi berisik, yang tadinya bisikan berubah jadi seruan. Yang semula hanya kata-kata biasa tiba-tiba jadi serak teriakan. Para pemain masuk bersamaan dengan tepuk tangan kali kedua kami sebelum peluit pertama hari itu, Kalian akan sibuk memilih bola atau memilih sisi. Kami tidak pernah peduli asalkan kamu yang berlaga di situ.
Perkusi masuk dalam temponya sebagai aba-aba.
Setelah tarikan nafas panjang…
maka serentak: “PSS SUPER ELANG JAWA”
Sebab setiap sore macam itu aku membayangkan seperti apa gambaranmu dalam tahun-tahun yang akan datang, semegah kumpulan doa-doa yang sarat puji syukur atau terbengkalai dalam sisa-sisa harapan yang tidak pernah bisa terwujud.
Selamat ulang tahun.
(Tonggos/Mei 2020)