Dalam kurun waktu yang singkat kita semua ternyata merasakan dengan betul-betul bahwa sepakbola telah lama terlewat. Sekalipun jadwal sepakbola Indonesia kadang ditata sedemikian terburu-buru, namun berada tergesa-gesa di lini masa itu membuat kita lebih hidup hari ke hari. Belum lama ini di tengah pandemi, aku menghabiskan waktu hanya di atas kasur dan waktu terlewat 90 menit begitu saja hingga tersadar untuk berangkat mandi karena Maghrib berkumandang dari dalam gang dekat rumah. Sekilas terbayang dalam pikiran bahwa di lain situasi, sepakbola membawa kita pada 90 menit terpadat dalam hiruk-pikuk hidup. Dengan baku aksi di lapangan hijau, momentum-momentum yang panen sorak dan decak, lagu-lagu yang silih berganti dengan parau suara serak, dua babak 45 menit menyajikan ketegangan hidup yang sulit digantikan candu apapun.
Setiap orang boleh mengagungkan apapun dalam hidupnya dan untukku sepakbola masih ada di peringkat paling tinggi. Tentu saja selalu ada pergolakan batin saat pertandingan jatuh di hari kerja atau di akhir pekan, atau kapanpun di waktu apapun. Dan dalam perjalanan hidupku, sepakbola adalah pilihan yang sering jatuh ketimbang opsi-opsi lain. Aku sendiri sempat menarik jarak dalam sepakbola, mencoba menjadi manusia yang biasa saja seperti yang digaris oleh norma-norma biasa. Tapi setiap kali aku sudah cukup jauh dari sepakbola, aku selalu punya alasan untuk kembali. Ada saja yang bisa membuatku jatuh di antara tiup peluit itu. Ada banyak alasan yang bisa kita semua sebutkan, entah karena merindukan atmosfer perayaan gol, atau merindukan berhimpitan dengan teman-teman dalam lagu yang sama, atau merindukan seni menyerang dan bertahan di lapangan hijau, atau merindukan bau asap dan ketegangan nyala flare, atau sekedar merindukan bertemu manusia lain dalam setengah sadar dan tawa-tawa sepele khas teman dekat. Kadang sepakbola hadir sebagai dimensi ruang dan waktu yang mengisolasi kita dari kebisingan di hidup sehari-hari, menggantinya dengan tawaran paling beresiko: seni pertunjukkan tanpa naskah.
Sepakbola menghadirkan pentas yang komplit, dengan persiapan yang selalu matang, dengan gerak dan aksi para aktornya berlaga, dengan tata suara dari tribun yang terkoordinasi sungguh baik, tabuhan-tabuhan drum yang heroik, dengan tepuk tangan yang riuh setiap kelar satu adegan pelik. Setiap pertandingan adalah pagelaran yang selalu berbeda. Para aktor memerankan karakternya tanpa tau betul apa yang disiapkan lawan mainnya. Semua bergerak dan saling mengisi hingga peluit akhir ditiup, lampu-lampu mati berubah gelap seperti tirai yang ditutup dan jawab atas drama jatuh di situ. Apakah hari itu berakhir tawa seperti panggung komedi atau penuh haru seperti panggung tragedi? Setiap kali pagelaran itu terhelat di kotamu, kita semua masih berbondong-bondong ikut jadi bagian, karena kita tidak pernah tau akan berakhir seperti apa naskah hari itu.
Dan begitulah kita kecanduan sepakbola.
(Tonggos/April 2020)