Pendakian yang Panjang

Musim pertama di puncak pentas sepakbola Indonesia mendekati akhir dan PS Sleman sudah lama dirindukan golnya di rumah sendiri. Kontra Persija berlangsung dengan 90 menit kebingungan, bermain kontra PSIS sebagai tamu di kandang sendiri dilewati dengan tunduk lesu, sementara permainan apik melawan Bali United berlangsung seru namun masih tumpul. Untung saja masih ada kemenangan tandang di ibukota Jawa Timur di sela-sela jadwal liga 1 yang kemrungsung. Setelahnya adalah libur hampir dua pekan lamanya. Menyisakan kembali kebingungan dan duga-duga di benak penghuni tribun Maguwoharjo, akan seperti apa Superelja berlaga melawan raksasa dari Kalimantan. Semua serba tidak pasti mengingat rekor buruk musim ini di kandang sendiri, juga kebosanan mensyukuri hasil imbang yang mau tidak mau diucap sekalipun sambil menggerutu. 

Berdiri di tribun juga sama bingungnya, suara tak selantang musim lalu di liga kedua. Tak heran, 15 menit pertama pasti masih terlihat bagian-bagian kosong di jajaran yang datang walaupun akan sesak juga di peluit akhir. Jadwal liga terlampau padat dan televisi kerap sekali menyajikan sepakbola klub kami. Orang-orang yang sekolah dan bekerja sulit mengikuti jadwal hadir pukul 3 kecuali memohon datangnya surat pemecatan lebih cepat. Maka dipilah-pilihlah pertandingan-pertandingan mana yang direlakan waktunya untuk hadir. Biasanya pilihan jatuh di laga kontra tim besar yang dulu sering kami kagumi di televisi, waktu kami masih mendaki jalan terjal untuk naik.

Dibandingkan musim lalu, PS Sleman musim ini serba redup. Tahun kemarin adalah tahun yang akrab dengan 3 angka. Partai kandang selalu dilalui dengan keyakinan dan semarak pesta, partai tandang sama meyakinkannya. Berbondong-bondong manusia ikut berangkat merebut angka sambil bernyanyi kesurupan sepanjang perjalanan. Tahun lalu pula, tribun selalu sesak sebelum pemanasan para penggawa dimulai dan suara yang pantang redam sampai wasit memutuskan pertandingan diakhiri. Puncaknya tentu saja mengangkat trofi yang diimpikan sejak klub ini berdiri. Setelahnya adalah obrolan-obrolan tentang tajam cakar Superelja di tongkrongan-tongkrongan di tanah Sleman.

Musim ini dilalui seperti de javu satu dekade yang lalu. Berlaga melawan tim-tim papan atas dan berakhir menyedihkan hingga digolongkan kasta kedua. Stadion berangsur sepi, suara di tribun seperti pantai di waktunya pasang surut. Perlahan tak disadari habis tak lagi menyentuh kaki-kaki pelancong di bibir laut. Semakin jauh dari idealnya sepakbola sebagai hiburan rakyat. Sepakbola sempat seperti tidak dirayakan di tanahnya sendiri kala PS Sleman tak bisa menjamin kemenangan di rumahnya, di sarang Super Elang Jawa. Satu dekade lalu yang pahit, mirip dengan hari ini yang sulit. Bedanya hanyalah ucap syukur di sela-sela tarikan nafas yang terengah-engah dari orang-orang yang begitu mencintai PS Sleman sampai hari ini, “alhamdulillah isih ning liga siji.” Sekalipun berat bisikannya menyiratkan sedikit rasa kecewa.

Mungkin ada benarnya bahwa PS Sleman hari ini masih kaget dengan liga teratas Indonesia, setelah 11 tahun tak menyentuh gemerlapnya sepakbola langganan layar kaca. Gagap sekaligus gugup atas atmosfir yang berbeda. Setidaknya, 5 tahun terakhir di liga 2 dijalani PS Sleman sebagai singa si kandang domba. Bebas caplok sana-sini saat waktunya lapar tiba. Sayangnya berbeda, di kandang serba singa, siapa saja bisa makan siapa saja dan PS Sleman larut di situ. Tapi klub ini bukan kumpulan manusia mudah menyerah. Superelja sudah akrab dengan fase macam ini. Klub ini tidak lahir dari pemodal besar, bukan juga warisan pemda yang royal seperti banyak peserta liga lainnya. PS Sleman lahir dan tumbuh bersama manusia-manusia setia yang beberapa kali sabar menopang rumah yang hampir ambruk atapnya. Keteladanannya adalah teladan keteguhan hati, yang di tingkat manapun berlaga selalu menyajikan kesabaran. Menurutku, itulah PS Sleman yang kukenal. Klub yang dengan jumawa menantang tim level manapun dengan sama kerasnya, walaupun kadang terjungkal. Bukan masalah, bagaimanapun perjuangan yang gagal selalu lebih baik dari kekalahan tanpa perlawanan.

Superelja dalam ingatanku yang indah selalu akrab dengan pendakian mimpi. Ia melewati perbukitan yang dingin, tinggal lama di puncak pada masa ligina lalu gagal mendaki liga super setelahnya. Sedikit tersesat, kehilangan arah hingga lupa jalan naik sekian lama sampai akhirnya kembali lagi di jalur pendakian. Pun selama mendaki, puncak melulu kerap terlewat, berkawan dengan kata “hampir” yang tiap akhir musim sering mampir. Hampir juara pun hampir degradasi. Lintasannya tajam didaki dan licin turunnya. PS Sleman sudah melalui itu bersama dengan para pendukungnya. Tanjakan dan curam turunan yang silih berganti. Dari sekian panjang pendakian; bukan bunga mawar yang akan kamu temui dengan elok warnanya, bukan melati dan kamboja yang tercium dari kejauhan wanginya, bukan pula anggrek yang cantik rupanya. Kamu akan menemui edelweiss yang kecil, tapi perlambang ketabahan.

Bunganya yang putih dan daunnya yang hijau,
bianco verde yang abadi.

Seperti terlantun di lagu lama,
edelweiss edelweiss, bless my homeland forever.”

Mencintaimu adalah syahdu.

Tonggos,

November 2019