Hari Ibu yang Terlambat

“Lawan mana, mas?”

“Naik apa?”

“Langsung pulang?”

“Ati-ati.” 

Empat kalimat ini adalah hafalan luar otakmu ketika aku sibuk berdandan dan ubak-ubek di kamar di waktu-waktu acak karena kamu tau aku segera berangkat tidak lama. Kamu balik piring dan meletakkannya di meja seperti yang sudah-sudah bahwa aku ditunggu di rumah untuk makan malam berikutnya, secepatnya. Pertanyaanmu bisa datang kapan saja sewaktu kamu ngapain aja, entah itu mencuci piring, setrika di dekat meja makan, atau merapikan isi-isi rak yang selalu terlihat berantakan di matamu, atau kadang sambil menonton tutorial masak di youtube dengan separuh headset menggantung; membagi suara yang kau dengar dari telepon selular dan jawaban-jawabanku.

Beberapa kali kamu mengirim pesan padaku dari jauh karena berita di televisi dan portal-portal kabar instan menyiarkan kerusuhan kami dan sepakbola, memastikan apakah aku baik-baik saja dan berhasil menyelamatkan diri. Sampai hari ini kamu selalu tau aku pulang baik-baik saja, biasanya hanya kelelahan dan tidur seharian hari besoknya lantas mengingatkan tugas-tugasku yang terlambat karena harus melawat luar kota. Kadang aku bangun tengah siang dan kamu memberiku kabar apapun terkait klub sepakbola bahkan sebelum aku tau, walaupun aku jarang peduli pemain mana yang datang dan pergi, tapi kamu selalu begitu.

Buku tulis yang kuminta bergambar Marcelo Braga dan Deka, segala isi kamar yang sebisa mungkin warna hijau, bahkan tanpa diminta aku selalu mendapat sikat gigi dengan warna serupa klub sepakbola. Kamu tidak pernah menanyakan kapan aku akan berhenti, bahkan dengan bangga kamu ceritakan kisahku yang lolos dari ricuh beberapa kali ke teman-teman studimu dulu, atau kamu dengan sangat bijak mengingatkanku bahwa tulisanku tentang sepakbola tiada banding (walaupun itu sebelum kamu mengenal Kartogeni yang kemudian membuatku turun di peringkat dua dalam klasemen tulisan baik menurutmu). Tentang bakul sayur langgananmu yang sering kamu ceritakan ia sering ninggal istrinya bakulan karena Superelja berlaga, aku menikmati cerita itu. Tentang teman sekolahmu seorang paman dari bekas pemain PSS aku juga menikmatinya.

Tentang voting yang selalu kamu pilih PSS apapun kategorinya di marketplace oranye itu, kamu bahkan tidak punya clue siapa Yevhen Baha tapi kamu klik pula dia sebagai gol terciamik minggu itu. Kadang aku bernyanyi keras-keras dengan telinga tersumpal dan kamu mengira aku sedang berusaha mengganti liriknya tentang sepakbola. Tentang langkah demi langkah pentas hampir tiap minggu dulu, kamu selalu tanyakan “was it good? How was the crowd? Did they enjoyed your band?” Jawabanku selalu sama kalau aku bahkan tidak bisa mendengar suara vokalku sendiri di monitor karena mereka bernyanyi larut sekali. Aku tau lama-lama kamu terbiasa mendengar kata Superelja, PSS Sleman, BCS, dan istilah-istilah sepakbola lainnya. Aku tau juga kamu lama-lama peduli dengan tim ini pula. Aku ingin sekali mengajakmu nonton langsung klub kebanggaanku barang satu kali, tapi itu mustahil karena kamu akan pusing di tengah kerumunan. Maka aku akan ceritakan terus apa yang bisa aku ceritakan tentang PSS Sleman padamu, sambil kita merokok di meja makan bersama rasan-rasan tetangga dan gosip-gosip layaknya rumput liar.

Dan seperti yang sudah-sudah, kuharap kamu tidak bosan dengan panjangnya jawabanku saat aku masuk rumah tampak lesu dengan pertanyaanmu, 

“berapa-berapa tadi?”

Tonggos,

Mei 2020

Recent Posts

Social Media