Kecewa benar, sungguh. Pencabutan kuota suporter di tengah hari kami semua sudah berangkat membuat aparat menutup jalur utama Jateng-Jatim agar langkah kami berhenti. Sama-sama keras kepala entah berapa lama kami saling paksa antara mundur atau melintas. Kembali sampai bumi sembada ternyata disuguhkan permainan mleyot khas kebingungan. Menyerang gagal melulu, bertahan digempur habis. Aku sendiri marah karena permainan tanpa rasa bangga macam ini. Kalut, sungguh. Tapi sisa malam cukup meredakan amarah dan mengendapkan apa yang terjadi sebelumnya.
Hari mungkin belum begitu petang kemarin waktu timbul kenekatanku meminta ijin kerja untuk besok. Lagi-lagi aku beruntung berteman kerja dengan orang-orang baik sehingga sore itu menjadi mudah. Salah satu hari penting di putaran dua liga 1 tinggal menunggu jam saja, tiba-tiba tidak ada lagi yang lebih penting selain laga tandang PS Sleman ke Malang. Ricuh suporter di partai pembuka liga membuat laga ini berpotensi menjadi ajang balas dendam, menjadi laga paling rawan bentrok untuk kami pendukung Superelja. Aku tak ada pikiran lain selain meluangkan niat untuk berangkat, kuhubungi beberapa orang mengenai teknis keberangkatan dan sepakat untuk bertolak usai subuh. Pulang kerja hari ini adalah pulang kerja paling bergegas untukku, tidur dengan sangat cepat karena waktu yang makin singkat.
Bangun cukup tergesa karena telepon dari Galih, memastikan aku ikut serta pagi itu. Berdandan serapi mungkin untuk sebuah hari besar. Ibu kaget aku terbangun pukul 2 dini hari, seperti biasa ia masih terjaga menyesap kopi. “Kemana mas?” tanyanya heran. “Nonton bola, di Malang, naik motor.” jelasku singkat. Raut wajahnya berubah khawatir, ia tau bagaimana relasi dengan Malang kali ini, aku tak pernah berbohong padanya soal keributan-keributan di lapangan, tidak pernah sama sekali. Kulirik sambil bercermin air muka khawatirnya berubah doa. Ia berhenti mengatakan apapun dan mengambil piring kosong. Ditaruhnya piring terbuka di meja ruang tamu, pertanda aku harus pulang cepat atau lambat. Aku sendiri tidak butuh apapun lagi kecuali restunya dan kuanggap pagi ini ibu tetap setuju aku pergi seperti yang sudah-sudah.
Tiba di Maguwoharjo keadaan belum begitu ramai, aku tidak asing dengan situasi ini. Pernah dalam satu waktu kami ramai berjejal di lini masa namun sepi saat waktunya tiba. Tidak masalah, sudah kuniatkan berangkat dengan semua resikonya. Pukul 4 pagi masih terasa lama dan kuhabiskan waktu berbincang dengan beberapa teman-teman muda kampus. Aku tidak bisa berdiam saja menunggu saat-saat genting begini, aku sendiri sebenarnya grogi dan khawatir akan apa yang nanti akan terjadi. Maka dari tiba sampai hampir pergi aku berusaha terus bercerita dengan mereka, membunuh kebisingan-kebisingan di kepala yang sering membujuk “masih ada waktu untuk pulang dan tidur.” Lambat sekali waktu dirasa tapi teman-teman di depanku ini tidak memusingkan apapun kecuali ban bocor dan kehabisan bensin, dalam hatiku malu sendiri jika aku mengkhawatirkan hal lain. Mata mereka berbinar membayangkan nanti dapat mendukung PS Sleman di laga paling berbahaya, mereka sama sekali tidak membicarakan mati walaupun tau resiko itu dekat sekali hari ini.
Aku berdiri dan menoleh ke sekitar saat dengan tidak sabar tiba-tiba muncul ajakan “ayo” dari berbagai sudut komunitas, kukira waktunya sudah dekat. Ini saatnya, kami bersiap diri masing-masing, berkumpul lebih rapat dan saling bertukar pandangan satu sama lain. Aku juga menyapu pandangan dan kulihat rasa percaya di mata mereka semua. Inilah para pemberani yang kosong otaknya, bergerak tanpa nalar, menangkis resiko, dan tetap konsisten menolak logika. Aku bersyukur sekaligus gembira berada di antara mereka. Semua orang tampaknya siap, barisan lebih rapat lagi membentuk lingkaran. Doa dimulai dalam hening subuh, dalam langit yang masih gelap. Flare dinyalakan bersamaan dengan usainya doa, tanpa yel-yel dan nyanyian, semua orang sudah paham betul tekad dalam dirinya sudah menyala.
Pagi itu, matahari terbit lebih awal. Juga tekad kita.
(Tonggos/September 2019)