Menilik hari dulu, PS Sleman sempat dipenuhi pemain bintang tepat sebelum gempa Jogja menggetarkan pagi yang tenang di DIY. Beberapa nama besar seperti Kurniawan Dwi Yulianto dan Rochy Putiray mengisi harapan untuk menduduki peringkat atas liga setelah tiga musim sebelumnya ditutup dengan prestasi yang gemilang. Menjalani liga dengan terseok ditambah bencana alam yang tidak dapat dihindari membuat PS Sleman mengundurkan diri di peringkat 13 klasemen sekaligus tidak ikut serta hijrah ke Indonesia Super League di tahun berikutnya karena harus merangkak terlalu berat pasca pemulihan.
Harapan tidak habis begitu saja lantaran stadion Maguwoharjo mulai digunakan di musim 2007, menyisakan sedikit asa bahwa bangkit lagi masih mungkin. Sebagai stadion baru, Maguwoharjo belum menemukan keangkerannya di musim pertama, liga selesai dengan hasil kurang memuaskan para suporter. Geliat dukungan juga menurun di 4 sisi tribun karena terseok di kasta kedua. Lingkaran kegagalan ini berputar terus, penampilan tim yang buruk menurunkan jumlah kehadiran di stadion, pertandingan yang sepi berimbas ke pemasukan tim, minimnya pemasukan menghambat kerja manajemen, kerja manajemen yang buruk membuat tim tidak tampil optimal.
Memasuki musim ketiga di Maguwoharjo dan makin gencarnya dukungan di tribun selatan sedikit demi sedikit membawa badai gelora baru bagi PS Sleman. Aku sendiri selalu terpukau saat masuk ke stadion yang masih sepi, bersiap sebelum pertandingan, berdiri di tribun dan menatap Merapi di kejauhan. Sepakbola menurutku tergambar dari mana ia berasal. Bagi PS Sleman yang lekat dengan Merapi, mungkin gunung berapi yang megah ini cukup menjadi tauladan. Menjulang kokoh dengan berkah abu vulkanik yang menghidupkan tanah di sekitarnya, Merapi jarang sekali menjadi momok. Ia justru menjadi sumber hidup, menjadi anugerah, dan sumber harapan. PS Sleman dan ekosistem di sekitarnya terbentuk atas karakter yang sama dalam pandanganku. Sekalipun sedang buruk, sepakbola di tanah ini masih menyisakan doa. Kalangan suporter bergerak menggeliat, bermodal berkah rasa bangga pada klub yang dibelanya. Terbitlah toko merchandise, hiduplah radio dan literasi, mengalunnya lagu-lagu di sudut-sudut gang dan jalan di Sleman semua tentang sepakbola di tanah Merapi ini. Perjuangan menemui beberapa kegagalan, tapi ternyata bagi kita menyerah bukanlah tradisi. Selalu ada peluit kick off untuk memulai harapan baru dan itu terus kita percaya tahun demi tahun.
Hari ini, setelah keterpurukan sekian tahun lamanya PS Sleman kembali ke kasta tertinggi. Seperti kesadaran untuk menjaga keasrian Merapi, menjaga sepakbola tetap bergerak utuh seharusnya menjadi kesadaran pula. Tanpa menghidupi sepakbola, suatu saat bisa saja kita semua kehilangan rasa bangga di dalamnya. Akankah hasil buruk di beberapa laga terakhir menyurutkan harapan kita? Atau malah melecutkan semangat lebih besar untuk berjuang lebih hebat? Semoga saja pilihan selalu jatuh pada pilihan kedua. Berbondong-bondong lagi kita berdesakkan di tribun yang dulu membangkitkan asmara pada sepakbola, bernyanyi lagi dengan kegilaan seperti tidak pernah kehabisan tenaga, semata demi menghidupi lagi sepakbola agar terus memberikan berkahnya berupa rasa bangga bahwa aku, kamu, dan kita semua hidup di dalamnya, menjadi bagiannya, dan merayakan pestanya.
Aku masih akan berada di sana, di tempat biasanya kita bertemu. Aku yakin besok kita bertemu lagi. Dan jika itu terjadi aku akan mengepalkan tangan tinggi seperti dulu sering kita lakukan, lalu berteriak lantang PSS SUPER ELANG JAWA!
Karena itu yang membuat aku, kamu, dan kita semua terus hidup atas berkahnya.
(Tonggos/September 2019)