Rumah Segala Musim

Bisa jadi, sarapan tongseng ayam pagi itu memang pondasi paling ideal untuk mengagumi Stadion Maguwoharjo dari dekat. Alih-alih menyesap kaldu soto seperti senin pagi biasanya, saya dan beberapa teman terjebak di warung tongseng ayam tepat di depan gerbang stadion sebab hanya itu yang tersedia dalam jarak dekat. Para pesepeda menggelinding pelan di jalan raya sementara kami duduk berjejer di trotoar menunggu menu siap disantap. Pada waktu-waktu gelap yang diganti terang pelan-pelan, saya menghadap Maguwoharjo dan kemegahannya merayap berbarengan dengan pagi yang tak lagi buta. Terlebih tongseng yang hangat dan menenangkan, pagi itu dimulai benar-benar baik.

Kedatangan saya dan beberapa orang pagi ini memang untuk menginjakkan kaki di stadion demi pengambilan beberapa potong gambar. Si videografer mendahului masuk dan mulai mencari titik-titik yang tepat dalam lensa, saya sendiri menyapu pandang pada kekosongan. Menyisir tepi lapangan pelan-pelan sebelum naik ke tribun biru dan menculat pagar menuju area kuning. Cepat-cepat saya berjalan menuju titik tengah tribun, naik ke stager yang glodak-glodek kalau tidak diganduli orang-orang, berdiri menghadap ke tribun yang sepi pengunjung dan berbalik ke arah lapangan, tanpa bola bergulir sama sekali di rumput sana. Ingatan terdekat tentang stadion berbanding terbalik dengan pagi itu.

Asap mengepul pekat di berbagai titik -di waktu-waktu acak selama pertandingan 22 Desember 2019- dan saya nyaris tidak bisa menyapu pandangan ke seluruh tribun karena asap mengelilingi jangkauan pandangan. Kanan-kiri pekat dengan bau bakaran, hanya telinga saya yang menangkap pergerakan menjelang maghrib saat itu: orang-orang bernyanyi keras-keras betul mendukung Super Elja. Lantunan-lantunan lagu terulang lagi di ingatan saya, rasanya seperti masih dekat di gendang telinga bagaimana orang-orang begitu bangga dengan para penampil sepanjang pertandingan. Terbesit di pikiran saya suara “ooooh” saat bola gagal masuk gawang, sisanya adalah semangat-semangat dan doa-doa dan harapan-harapan dan kesemogaan PSS menutup liga tahun itu dengan peringkat baik.

Saya dapat kesempatan istimewa, karena satu dan lain hal, untuk melihat Stadion Maguwoharjo yang lorongnya penuh kotoran burung. Tribun yang semennya kasar diwarna lumut dan rumput liar mulai tumbuh dari sela-sela keramik yang retak. Warna kuning mulai pudar dimakan panas hujan. Kemegahan-kemegahan yang terus tinggal di ingatan ternyata tidak seelok saat tribun sudah lama tak dijejaki orang-orang. Tanpa kibaran bendera dan sorak-sorak khas para pemuja. Ada rasa sepi yang menggelanyut saat pengambilan gambar selesai dan saya berdiri di ujung lorong, menghadap ke lapangan tanpa semprit wasit.

Musim kemarau pernah singgah di sini, saat Super Elja belajar terbang terseok jadi bahan injakan tim lain yang adidaya. Tribun tak berjejal padat manusia dulu itu. Wajar, tak banyak yang mau bertaruh detak jantung dan penyesalan dalam 90 menit penuh ketar-ketir. Matahari rasa-rasanya lebih terik sebab jarang ditemui keteduhan tiap wasit mengakhiri pertandingan. Tetangga kadang bertanya hasil sore itu dan jawaban tunduk malu terucap pelan, “kalah malih pakdhe.” Hujan pernah turun lebat pula dan PS Sleman main lumpur di kubangan. Bangkit dari kuyup tidak semudah menggelar payung. Kesedihan rintik begitu sering di tahun-tahun pertama selatan bernyanyi. Ada yang tertahan, ada yang turun begitu saja, banyak yang diusap sebab pertandingan-pertandingan masih harus berjalan dan menyanyikan gemuruh adalah pekerjaan utamanya.

Saya membuka mata setelah beberapa saat pejam, masih di tribun selatan, satu tahun setelah keriuhan. Ada kenyataan yang menyusup masuk di pikiran saya; Maguwoharjo bukan Bali, bukan Labuan Bajo, bukan Malioboro dan Tugu yang ramai dikunjungi wisatawan saat ada waktu luang. Ia bukan satu destinasi yang sesekali hinggap di pikiranmu untuk menghabiskan waktu jika ada cuti kerja. Maguwoharjo adalah rumah. Ia adalah tempatnya pulang. Kadang saya terburu-buru pergi dari sekolah dan tempat kerja untuk segera berada di sini. Hanya demi pertemuan dengan kawan dan saudara, berkumpul dan menyanyikan lagu-lagu kesukaan kami, dan kita. Inilah Maguwoharjo yang menetap dalam pikiran saya, sebuah rumah bagi segala musim. Baik yang kemarau atau yang penghujan, yang mana saja asal saya bisa kembali secepatnya.

Maguwoharjo: a home for every season.

(Tonggos)

Recent Posts

Social Media