Waktu itu pukul 10 malam, sewaktu kami akhirnya sampai di Sidoarjo. Sudah hari ketiga sejak kami berlima pamit meninggalkan rumah. Di tahun-tahun ini laga tandang Jawa Timur sungguh selalu menguji keberanian karena rivalitas yang runcing melibatkan suporter Solo. Pasca peluit akhir melawan Blitar kemarin kami dan beberapa anggota Ultras PSS lainnya berkumpul untuk menjelaskan rencana masing-masing setelah ini. Bebek, Anggit, Jangkung, dan Handung pulang mempersiapkan keberangkatan ke Pasuruan bersama rombongan BCS yang mepet banget jadwalnya 3 hari lagi, sekaligus menemani rombongan pulang dari Blitar melewati wilayah Solo yang selalu saja merepotkan. Sementara itu, Liston, Vikar, Eka, dan Zep memutuskan untuk menuju Kediri sebelum ke Pasuruan. Azis harus pulang sendiri tanpa rombongan karena harus berangkat pelayaran jauh esoknya. Sementara itu aku, Divta, Abi, dan Yoga memang sudah berencana lanjut menuju Pasuruan.
Setelah bis rombongan bertolak pulang, Azis menyusul dengan bis patas. Rombongan yang menuju Kediri berpisah dengan kami. Tersisa Kopeng, yang tidak memutuskan apa-apa tanpa uang saku dan pakaian ganti akhirnya ikut kami. Hari yang hujan segera membingungkan kami berlima. Di mana tidur malam ini? Uang saku yang terbatas menuntun kami untuk memutuskan tidur di makam Bung Karno. Sebuah ide yang terdengar brilian 30 menit yang lalu langsung hambar, tidak ada tempat sama sekali untuk duduk lantaran sisa gerimis masih saja di sini. Mematung sekian lama salah satu dari kami mendengkur lambungnya dan disusul sisanya segera, kami memutuskan mencari makan. Uang tidak seberapa karena perjalanan tanpa rencana matang ini butuh hemat yang sungguh. Dua porsi nasi goreng tanpa telur tanpa suwiran ayam dipesan untuk makan berlima.
Dari bapak nasi goreng kami dapat info penginapan 25 ribu semalam tidak begitu jauh. Berangkatlah kami segera karena lelah sudah di pundak. Penginapan lebih suram dari kamar di Kaliurang manapun, dengan tembok yang mengelupas catnya diganti jamur warna-warni dan kasur seadanya. Bodo amat, ini tentang hari besok yang masih panjang.
Keesokan harinya kami lanjut menuju stasiun menuju Surabaya. Jujur saja, sampai kami menapakkan kaki di gerbong tidak ada rencana yang matang sama sekali bagaimana menuju Pasuruan, kecuali mampir di Sidoarjo di rumah saudara Abi. Enam jam dari Blitar kami sampai. Istirahat seadanya dan makan yang porsinya terbagi ternyata tidak cukup mengembalikan tenaga kami penuh. Ini lelah yang paling lelah demi PSS Sleman bagi kami.
Menuju ganti hari kami masih terjaga, kulihat raut muka yang kusut dari teman-temanku. Aku menyadari bahwa kita semua saling bertahan dan berusaha tidak mengeluh satu sama lainnya semata agar tidak memancing satu dari kami menyerah di tengah jalan. Tiba-tiba ada sepercik semangat karena fitur reminder di handphone kami berbunyi nyaris bersamaan: 20 Mei. Dalam hening di jauh ini, kami berlima tersenyum setelah 2 hari kemrengutan. Ulang tahun PSS Sleman dan Ultras PSS. Yoga mengeluarkan sisa bekal roti tawar, Abi membawa susu kental manis rasa coklat dan berlima kami merayakan seolah roti tart. Kencrung yang kami bawa segera kuambil. Jrang jreng seadaanya sambil bergumam beberapa kata. Inilah kado dari kami untuk tim dan keluarga yang mendewasakan kami, sekaligus catatan perjalanan kami atas nama cinta: doa dan rasa yang setia.
“Sendi-sendimu telah lelah berjalan ke sana ke mari, mengikuti kepak Super Elja. Dengan dana dan tenaga yang masih tersisa kita tetap berjalan bersama. Raut rasa lelah tergambar di wajah kita tapi kita tak berhenti di sini. Kobarkan api semangat yang tak akan padam bersama kita kan terus berjuang. Kita telah berjanji tuk mengawal sampai nanti Super Elja apapun yang kan terjadi nanti. Kita telah bersandar pada satu nama yang sama, PSS Super Elang Jawa. Stick Together kawanku, tetap satu tujuan.”
(Tonggos/Agustus 2019)