Sebuah kebetulan jika hari ini aku bangun terlalu pagi dibanding hari-hari kemarin. Biasanya, aku baru bisa bangun menjelang buka puasa dan melewatkan banyak hal dalam satu hari. Tidur lebih awal dan bangun pagi kata orang-orang dulu adalah hal baik, walaupun senyata-nyatanya tidak untuk hari ini. Aku dipaksa membuka mata lebih cepat hanya untuk membaca berita kepergian Didi Kempot. Lini masa segala platform media sosial tentu saja ikut berduka dan aku mempertanyakan diriku sendiri kenapa bisa larut di kepergian yang sama. Padahal dalam diri kami berdua tidak ada kedekatan yang begitu erat, toh aku juga ga suka-suka amat pada campur sari dan lagu-lagu beliau yang dikendangi koplo akhir-akhir ini.
Setelah berputar lama dalam memori, ternyata ada satu hal yang menghubungkan kami berdua, atau beliau dengan orang-orang tribun selatan maguwoharjo. Dulu sekali, walaupun belum begitu lama ini, PSS masih berada di kasta kedua sepakbola Indonesia. Pada satu masa keemasan di lapis dua liga itu, PSS sempat menjadi tim yang sukar sekali dikalahkan baik kandang maupun tandang. Kemenangan begitu mudah dan sering direnggut dari nasib buruk lawan-lawannya. Dengan para pemain kontrak tinggi, lapangan yang memanjakan kaki, dan suporter yang memenuhi tribun, PSS menjadi kekuatan adidaya di sepakbola liga kedua. Selayaknya itu terjadi, tentu saja banyak pemain di klub-klub lawan sungguh frustasi mencetak gol melawan Superelja. Mirip-mirip Umrika yang dibenci negara-negara sekitarnya, PSS juga merasakan itu. Keputusan wasit dianggap salah melulu di mata mereka dan pertandingan penuh protes adalah hal yang wajar. Kadang pertandingan berhenti cukup lama, membekukan tribun dengan umpatan-umpatan samar-samar “protes wae asui”, atau “bajingan gek cepet dikertu sit”, atau seloroh-seloroh lain yang muncul begitu saja si sudut-sudut tribun yang tidak kamu kira. Capotifo kami waktu itu, Batak Jore tidak ingin energi habis di umpatan sementara pertandingan masih menyisa waktu. Ia selalu dengan pas dan bijak mengambil ancang-ancang nafas, lalu segera keluar aba-aba itu, “wong salah ora gelem ngaku salah…” Tidak perlu menunggu lama maka tribun akan menjawabnya dengan paduan suara paling sarkas meneruskan lirik Suket Teki sang Didi Kempot, memberikan kritik pada para pemain yang baku bicara di lapangan hijau bahwa sepakbola harus segera dilanjutkan.
Ternyata, tribun selatan berhutang budi pada karya Didi Kempot, pada Suket Teki dan pesan-pesan dalam lariknya. Jika tanpa lagu itu mungkin tribun selatan tidak akan menemui kebiasaannya untuk menertawakan keadaan. Maka lagu itu membuat tribun menjadi tak sepemarah dulu, menjadi lebih terbuka untuk tawa sembari tetap merayakan sepakbola yang tertunda. Ingatanku pada Suket Teki juga membawa memori yang baik tentang PSS yang cakarnya sungguh tajam sekalipun di liga dua. Tapi kejayaan itu terus bisa diingat setiap kali “wong salah ora gelem ngaku salah” terdengar kapan saja.
Selamat jalan Didi Kempot,
Terima kasih untuk Suket Teki
Dan waktu-waktu kami merayakan sepakbola dengan sangat gembira.
(Tonggos/Mei 2020)