Duduk aku tak jauh di sebelahnya. Ia menggeletakkan Machiavelli dalam terjemahan di meja rotan. Il Principe aku melirik judulnya. Pakaiannya rapi khas britania muda, dalam terjemahan pula. Cukup heran, karena cukup langka melihat yang macam ini dalam atmosfer sepakbola. Atau setidaknya tetap langka melihat buku itu digenggam pemuda seperempat abad, hari ini. Aku menduga-duga cukup lama akan kemana perbincangan dibawa tapi kupilih untuk ikut. Dua dan tiga teman yang lain datang melingkar kemudian, menyebar bungkus gudang garam masing-masing di atas meja dan aku bergabung dalam lingkaran. Semula perbincangan sebatas receh khas muda-mudi. Kejombloan dan seks bebas, si ini dan si itu, semester akhir dan musik di sekitar, panggung yang tiketnya makin mahal dan kesenian berbayar untuk semua. Saling lempar lelucon dan curhat colongan, asik juga ada teman ngobrol.
Masuk gelas kopi kedua seperti mengelupas bawang merah, lapis demi lapis obrolan kami kuliti. Machiavelli belum masuk sama sekali dalam perbincangan kami karena katanya “untuk dibaca aja, ga harus dibawa ke kehidupan nyata.” Tapi seperti kuduga, tak butuh waktu lama obrolan kami menuju sepakbola. Beberapa menjadikan sepakbola sebagai hiburan, sebuah jalan keluar dari hari-hari yang penat, yang berat, yang jika permainan sangat buruk di lapangan akan terasa mengecewakan. Sedikit bagian dari diriku setuju. Sepakbola dalam hidupku juga tentang bertemu teman-teman yang sepaham yang tidak melulu harian bertukar obrolan, ada jabat tangan dan “piye kabare” walaupun kadang aktivitas kita sudah diintip lewat sosial media. Perjumpaan semacam ini erat untukku di sepakbola, biasanya diikuti dengan saling menertawakan hidup masing-masing, menertawakan kesusahan-kesusahan sambil bersulang dan kemudian bertukar kecemasan akankah hari ini poin 3.
Beberapa yang lainnya hadir di pertandingan untuk menyaksikan laga yang diisi gelora, memimpikan permainan sepenuh hati, yang bangun lagi walaupun jatuh berkali-kali. Aku mungkin sama di porsi ini. Sepakbola pada level nasional harus dimainkan dengan rasa bangga, disaksikan berpuluh ribu pasang mata penuh harap yang menitipkan jati dirinya pada sepakbola. Melihat permainan 90 menit penuh kebingungan di lapangan sungguh menyesakkan untukku, mungkin juga untukmu. Dan sejauh kuingat karena alasan inilah aku menyelam bersama orang-orang gila lainnya di tribun selatan. Wadah yang pas untuk berteriak sekencang-kencangnya, sebising-bisingnya, lautan kertas dan kebakaran yang terus saja dulu kami lakukan. Semata untuk menyaksikan pertandingan penuh rasa bangga, di bawah sana dan di atas ini. Kebanggaanku juga kebanggaanmu.
Melibatkan ribuan orang dalam satu helatan laga rasanya kurang adil jika melihat sepakbola sebagai olahraga saja. Sepakbola tidak pernah lagi tentang 22 manusia yang beradu. Ia adalah kumpulan perjuangan, menit pertama yang dimulai harap, dan menit terakhir yang mendulang pesta, juga seumur hidup perjalanan.
Warung kopi mulai tutup ketika kami masih asik mengingat hari dulu penuh keliaran. Menyisakan kami yang masih duduk di remang sementara langit menyambut subuh. “Kalau dulu kita ga mendukung bola dengan cara-cara penuh bahaya, mungkin ga akan hebat-hebat amat cerita kita.” lontarnya sebelum kami pulang.
“Nah, Machiavelli juga akhirnya.” Kataku dalam hati.
(Tonggos/September 2019)