Pada satu hari yang tiba-tiba, di Luigi Ferraris Genoa, para suporter tuan rumah membuat keributan di tengah pertandingan lantaran tim sepakbola pujaan mereka tertinggal 0-4 dan ancaman degradasi kian mendekati kenyataan. Suporter tuan rumah menyalakan kembang api berbagai rupa, memaksa keras para pemainnya mencopot seragam yang mereka kenakan. Para pendukung merasa skuat yang berlaga hari itu tidak layak menggunakan seragam mereka, warna kebanggaan yang sudah melekat di kehidupan mereka -mungkin sejak lahir, sejak mereka ditimang oleh ayah mereka dalam gendongan nina bobo dengan lagu-lagu khas stadion. Pertandingan berhenti selama lebih kurang 40 menit, Genoa mencetak 1 gol yang tak berarti apa-apa kecuali papan skor berubah 1-4 setelah pertandingan dilanjutkan.
Berselang sepuluh tahun sejak para pemain Genoa dipaksa mencopot seragam bertanding mereka, rasa yang sama menghampiri tanah Sleman. Kekhawatiran akan degradasi menghantui publik. Penampilan buruk yang beruntun bisa saja -seandainya pertandingan boleh dihadiri para pendukung seperti yang sudah-sudah- menjadi amuk yang mendendam bagi para suporter dan memaksa para pemain mencopot seragam mereka, seperti yang terjadi di Genoa.
PSS menuai serentetan hasil buruk jelang berakhirnya liga musim 2021/2022. Menyisakan tiga pertandingan terakhir -layak disebut laga hidup mati- kini PSS bercokol di papan bawah. Dua strip saja dari zona degradasi. PSS masih bisa disalip tim dari timur Indonesia yang kini berada di tempat enam belas. Andai saja PSS gagal di laga-laga berikutnya, dan Persipura tampil sebaliknya, jurang benar-benar nyata di depan mata. Kini, jarak angka PSS dan Persipura adalah enam poin. Sekali kemenangan saja sebenarnya sudah cukup untuk mengamankan nama PSS di kasta tertinggi musim depan. Namun, tiga angka tampak menjadi sesuatu yang tidak gampang jika melihat hasil laga yang sudah-sudah.
PSS Sleman, belakangan menjadi tim yang payah nan menyedihkan. Lima laga terakhir skuat payah ini menelan 3 kekalahan, 2 imbang dan nir kemenangan. Pendukung yang datang langsung menemui tim bahkan tak berdampak apapun pada hasil laga setelahnya. Orang-orang yang datang tentu saja meluapkan kekesalan, kekecewaan sampai ingin mengubah jajaran tim dan pelatih menjadi bubur sum-sum. Di Genoa satu dasawarsa yang lalu, mereka punya Sculli yang menenangkan amarah massa. Di Sleman, tak seorangpun terlihat bermain sungguh-sungguh hari ini.
Setelah melanjutkan sisa musimnya di 2012, Genoa lolos dari degradasi. Benarkah karena para suporternya yang menyajikan amarah di depan muka dan memaksa pemain mencopot seragamnya? Nampaknya belum tentu pula begitu. Hanya saja, cerita di jauh sana mengajarkan saya sesuatu: suporter berusaha membela warna kebanggaannya sampai pada kegilaan yang tidak masuk akal. Sekalipun dalam cinta yang terbakar khawatir.
(Tonggos Darurat & Pandhus)