It all began on one hectic day in 2008…
Siang itu dua belas tahun lalu, seorang teman mengirim pesan singkat agar aku datang membantunya mempersiapkan kejutan untuk seorang kekasih. Setelah kelar perkuliahan hari itu -anggap saja begitu- aku menuju padanya, ke sebuah komplek indekos tempat kawan sekolahnya tinggal. Segala persiapan kejutan dimulai dan aku turut memberi ucapan di banner swadaya kain mori. Kupikir hal-hal romantis macam ini sudah usai di bangku SMA, tapi ternyata untukku semua baru dimulai. Tak bisa berlama-lama karena harus segera menuju Makassar hari itu juga membuatku harus pulang dan obrolan berhenti di siang itu. Seminggu kemudian sepulang dari seberang aku mencoba menghubunginya lagi dan ia ternyata ada di kos yang sama seperti kemarin dulu. Hari itu adalah perkenalanku dengan beberapa orang yang akhirnya membawaku pada hari ini. Merekalah Aditio, Dona, dan Yusuf. Hari-hari berikutnya aku kerap bolos kuliah di kos tembok hijau itu dan tak lama kami segera akrab lantaran obrolan yang sama tentang PSS Sleman, klub yang kami gandrungi.
Hampir tiap sore mereka menonton latihan PSS. Aku segera ikut di hari-hari berikutnya, hingga kemudian sore macam itu menjadi kebiasaan kami. Tentu saja sebelumnya aku hanya menyukai PSS karena klub ini adalah representasi daerah tempat tinggalku. Ikut mereka menonton latihan hampir saban sore dan berkumpul bersama rombongan mereka setiap kali PSS bertanding ternyata menyeret hidupku ke kisah-kisah romantis di sepakbola. Dari hanya kenal 3, jadi kenal 5, 10, 15, dan berpuluh-puluh lainnya dengan segera. Aku yang semula hanya menyukai PSS tiba-tiba berubah menjadi seseorang yang mengaitkan PSS pada banyak hal di kehidupan. Tugas-tugas kuliah sering kali berkaitan isinya dengan apapun yang terjadi di sepakbola. Uang saku habis di tiket akhir pekan dan perjalanan tandang, serta ubo rampe lainnya macam bikin banner, bikin bendera, riset smokebomb dan housemade flare. Hari-hari yang berlimpah waktu luang tiba-tiba saja bisa habis karena peras otak bikin lagu dan yel-yel untuk sepakbola.
Aku seperti bayi yang lahir di tengah orang-orang gila bola. Mau tidak mau, apa yang mereka lakukan aku tirukan, apa yang mereka ingin lakukan aku berusaha ikut ambil bagian. Perjalanan ke kota-kota lawan dalam lawatan sepakbola tidak bisa dihitung jari dan ternyata berbagi perjalanan adalah berbagi pengalaman. Di sepakbola, ketika kamu menangisi kekalahan klub favoritmu, tengoklah kanan-kiri dan mereka sedang merasakan hal yang sama. Pun ketika kamu bersorak atas gol yang melesat, tengoklah kanan-kiri dan mereka juga sama histerisnya. Dalam perjalanan lain waktu perutmu kosong dan kanan-kiri sekitarmu adalah yang akan membagi makanannya terlebih dulu. Kadang bantuan datang lebih cepat dari uluran tangan Tuhan. Mereka, bagiku telah menjadi saudara sekaligus guru dan sepakbola adalah sekolah tanpa buku paket dan lembar ujian yang a-b-c-d-e melulu. Soal bisa datang tiba-tiba dalam hujan batu dan kamu dipaksa berpikir jawaban yang tepat di sepersekian waktu; balas atau selamatkan saudaramu dahulu. Hari-hari macam ini terus berulang di sepakbola dan pengalaman itu yang mengendap dalam otakku, hal-hal yang tidak diajarkan waktu kita mengantuk di sekolah, duduk meringkuk bosan di deret-deret bangku. Bahkan pernah menepi hampir 2 tahun dan akhirnya kembali, mereka dengan senang hati menerima kedatanganku lagi tanpa repot bertanya kenapa aku sempat pergi.
Dua belas tahun berselang, segala hal yang kuimpikan ternyata nihil terwujud. Hal yang masih tinggal hanyalah aku sebagai suporter sepakbola. Ketika ingin menulis maka aku menulis tentang sepakbola, ketika aku ingin bernyanyi maka aku menyanyikan lagu-lagu PSS Super Elang Jawa.
PSS Sleman dan Ultras PSS,
Untuk semua perjalanan dan pembelajaran.
Terima kasih telah menjadi bagian dari pendidikan hidup.
(Tonggos/April 2020)