Batang-batang rokok menjelang habis, terbakar dan mengepul jadi asap tipis yang kadang menyengat mata, sisa-sisa tubuhnya yang tenang sudah bergerombol pada asbak perak kecokelatan. Lazu tengah sibuk melotot pada gadget terbarunya, sementara buku pinjaman masih erat terjepit di sela-sela jari kiriku, dan cup kopi yang telah dipesan diam-diam memperhatikan. Sebelumnya kami berdua memang janjian di tempat ini, warung kopi di pinggiran kota, tidak jauh dari ring road utara. Belakangan, karena pandemi gerai kopi tutup lebih awal, pukul 10 malam. Meski sudah tutup kami tetap dibolehkan nongkrong di sini, itulah kenapa kami kerap berkunjung kemari.
90 menit jelang warung tutup, satu teman lagi menyusul. Dengan jaket agak ketat, Oko datang. Ia bercerita perihal pameran virtual yang akan digelar, pameran yang ia gagas dengan teman-teman komunitas. Mereka coba membawa seni ke sepakbola, sejauh yang kudengar darinya, ada pelbagai macam bentuk seni yang akan digarap: desain visual, gambaran kertas A4, sampai lukisan ukuran setengah meter.
Memilih nama 976 Studio, mereka menyebar ajakan berkarya di tengah wabah. Pameran akan dihelat Juni sampai Juli tahun ini dengan teknis; perupa yang mengirim karya akan dikurasi teman-teman 976 Studio, barulah kemudian karya-karya yang masuk kualifikasi dipamerkan secara virtual. Sebagian hasil penjualan karya juga akan diarahkan pada orang-orang yang banyak terkena dampak pandemi. Selain jadi ajang pertemuan pikiran akan rasa rindu pada pertandingan, hal yang teman-teman lakukan ini, secara langsung menambah suasana baru di iklim sepak bola Sleman.
8 tahun sebelum pertemuanku dengan Lazu dan Oko di warung kopi pinggir kota tadi, masih terekam betul ingatanku pada PSS yang waktu itu. Pertemuan pada suasana baru di tribun, sekaligus pengalaman spiritual yang jadi yakinku mendukung PSS sampai hari ini.
Waktu itu aku masih duduk di bangku SMA, pada awal 2012 aku diajak rekan sekolah nonton PSS. Sebelumnya, sudah hampir 3 tahun tidak ada ajakan untuk menonton PSS bertanding secara langsung. Terakhir kali saat akhir sekolah dasar dulu bersama bapak yang masih kerap mengajakku.
“Nganggo kaos werno ireng.” pesan temanku sebelum kami bertemu di titik kumpul.
Tengah hari seusai rutinitas sekolah, berangkatlah kami ke Maguwoharjo, kebetulan sekolahku berada di pinggir kota tak jauh dari stadion. Jalanan Seturan sampai Casa Grande sampai Sanata Dharma, banyak yang serupa dengan kami, atribut hitam dan bersepatu. Kemudian sampailah kami di stadion, parkiran sisi selatan sudah ramai kendaraan dan nyanyian-nyanyian. Spiral mulai dijejali orang-orang, beberapa mengusung bendera besar, beberapa yang lain bernyanyi dengan berapi-api.
Setibanya di tribun sisi selatan, nyanyian-nyanyian lebih keras dilantunkan, khidmat seperti para pendoa di rumah ibadah. Drum tidak berhenti ditabuh sementara bom asap menjaga udara panas siang menjelang sore. Kertas-kertas bertaburan tak beraturan, api disulut di setiap sudut teras, dan pertandingan dimulai.
“Bagimu Sleman jiwa raga kami!” adalah anthem awal dari tribun selatan, bikin merinding dan nyaris bikin otak kram.
PSS kontra Persepar saat itu, warna kostum lawan yang merah cerah lekat pada ingatanku. Tidak banyak nama-nama punggawa yang kuingat selain Bogi Santoso dan Fahrudin yang jadi tumpuan di belakang, atau Anang Hadi dan Andrid yang dipasrahkan untuk membobol gawang lawan. PSS menang meyakinkan, para pendukung bersuka cita, jalan-jalan sepanjang kabupaten turut merayakan. Sampai rumah, orang-orang masih bercerita tentang kemenangan hari itu.
Saat itu juga aku mulai gandrung betulan pada Superelja, beragam rasa kesenangan tak terpermanai kudapat di sana. Hari itu jadi salah satu pengalaman spiritualku pada sepakbola dan PSS, oleh karenanya masih jelas terekam pada isi kepala, sebab sesuatu yang menggembirakan dalam hidup akan gampang jadi ingatan.
Hari itu juga aku mulai sadar banyak orang yang peduli pada PSS, terus bernyanyi bahkan tidak sadar suaranya sudah habis, meluangkan waktu di luar pertandingan untuk membuat kejutan pada laga berikutnya, sampai membikin movement supaya nama PSS dilihat orang lebih luas dan lebih banyak lagi.
8 tahun kemudian, 976 Studio adalah salah satu dari sekian banyak bentuk kepedulian orang-orang pada PSS, yang menganggap sepakbola lebih dari pertandingan di lapangan. Warung kopi di pinggir kota sudah mulai sepi, berikut gelas-gelas plastik yang sudah tak terisi. Meski malam, di luar tetap cerah. Kami pulang.
(Pandhus/Juli 2020)