“Sepakbola ga ada indah-indahnya, saiki nonton PSS ra marakke seneng malah nambahi stress.”
Topan, seorang teman saya dari Sleman Bushwacker baru datang dari pulang kerjanya dan duduk di sebelah saya. Kata-katanya meluncur begitu saja ketika melirik layar smartphone saya yang sedang menonton video unggahan terbaru PSS TV. Topan ikut menyimak sisa durasi video dan tak ada raut puas sama sekali dari tanya-jawab selama 9 menit 10 detik. Pun saya tidak merasakan kelegaan sama sekali kecuali justru muncul pertanyaan-pertanyaan lanjutan dari kebingungan saya berikutnya.
Belum habis rasa kecewa banyak orang melihat 2 pertandingan PSS yang jauh dari kata memuaskan: kebingungan di atas lapangan, pola serangan yang monoton, dan permainan tanpa daya juang – cenderung terkesan hanya menghabiskan waktu 90 menit tanpa visi dan keinginan menang. Orang-orang masih rajin ngedumel di media sosial manapun sebab inilah luka yang dalam untuk setiap suporter di belahan bumi, ketika sepakbola yang mereka banggakan tidak merepresentasikan apapun kecuali rasa kecewa. Tidak ada pelarian dari kejenuhan sehari-hari yang terjawab di 2 pertandingan awal PSS di Piala Menpora. Alih-alih bisa membunuh keruwetan hidup, menonton PSS kemarin hanya menambah tekanan batin. Bagi saya, bagi Topan, dan bagi banyak orang lain.
Menjelang ganti hari, di waktu yang acak, muncul video di PSS TV bertajuk director talk. Saya jelas antusias, sebab sejak sebelum dimulai Piala Menpora, CEO Marco menggembok akun twitternya dan hilanglah keakraban yang biasa dijumpai Sleman Fans di hari-hari sebelumnya. Protes-protes, kemarahan-kemarahan, kekecewaan-kekecewaan, kritik-kritik menguap begitu saja di jagad digital. Tanpa sasaran, tanpa ada yang tau apakah pesannya terbaca. Saya mengakhiri aktivitas saya yang lain dan mulai duduk, menyalakan rokok, dan memulai menonton video yanh dibuat sia-sia. Sebab, kukatakan kali ini pada Marco, kata-kata manis tak menjawab persoalan apapun. Baik di meja dewan perwakilan rakyat, juga di lapangan hijau.
Marco mengulang 11 kali kata “proses” sepanjang video. Diikuti oleh kegalauan dan keraguan oleh fans terhadap hasil yang sudah tercatat. Ia bicara kata yang sama lebih dari 10 kali seolah saya tidak mengerti apapun tentang itu. Biar saya beri tau, PSS punya anthem yang selalu dinyanyikan khidmat dan biarkan saya menuliskan potongan liriknya supaya kamu, Marco, mengerti:
“Bertahun menjalani, lelah ini tak terasa lagi. Pagi berganti pagi, masih ada keinginan hati…Percaya kita kan rayakan, kawan.”
Tentang proses, tentu saja para suporter sudah akrab betul. Perjalanan Sleman mencapai hari ini bukan ditempuh dengan anak tangga yang landai. Perjalanan cenderung banjir darah, sarat berkorban. Menempatkan kemarahan di 2 pertandingan belum ada tai-tainya sama sekali dibanding berada 10 tahun di barisan. Saya, kami, juga mengerti tentang tujuan jangka panjang yang diulang-ulang melulu, tentang 2023, menuju Liga Asia, kami mengerti itu semua tidak terjadi dalam satu malam. Sayang sekali, 2 pertandingan dalam sepekan tidak memproyeksikan satu langkah pun mendekati tujuan. Bentuk permainan masih jauh dari indah (jika belum dituntut menang), belum sama sekali menggambarkan bagaimana juara akan dirayakan sebagai benar-benar pemenang. Jika di suatu hari di tahun 2023, kemenangan PSS ditentukan oleh pertandingan macam itu, terus terang piala hanya sebatas hiasan lemari kaca buat saya. Tidak sama sekali menjadi cerita yang saya gembar-gemborkan sepanjang jalan pada semua orang, sebab PSS bermain dengan kebingungan yang cenderung bikin malu bagi orang-orang yang setia. Jangan pula bicara alasan melulu. Tentang background isi tim, pertarungan ego masing-masing kepala, hingga waktu persiapan yang tidak ideal, itu semua asalah pekerjaan yang jadi beban seluruh peserta kompetisi. Tidak bijak sama sekali mengambil beban itu menjadi alasan PSS bermain buruk bahkan untuk dirinya sendiri. PSS bukan satu-satunya klub yang mengalami kendala itu, tapi mungkin satu-satunya yang masih gagal menemui jalan keluar.
Perihal berhadapan dengan kegagalan, berhenti mengajari kami tentang kesabaran. Sebab kami sudah terbiasa jatuh dan terpeleset, dan jatuh lagi, dan terpeleset lagi. Result itu semu, kami mengerti. Kekalahan sudah biasa bagi dua tim yang sedang beradu, kami paham betul-betul. Hanya saja, kami ingin permainan yang menggetarkan hati, bukan yang plonga-plongo karena serangannya patah di bek musuh. Anjuran untuk sabar terang-terangan saya ambil menjadi ketersinggungan, sebab saya dan banyak orang sudah melampaui ini setengah mati. Bahkan tidak hanya di layar televisi seperti kali ini, kami menelan kekecewaan beratus kali dalam perjalanan pulang dari tandang yang lebih sering berbahaya, yang jika bukan sabar apa lagi jawabannya?
Di antara 00:00 hingga 9:10, sebuah frasa tertangkap di telinga saya, “ekosistem lain di luar PSS.” Tangan saya mencatat lagi di kertas. Beberapa pesan singkat masuk di smartphone saya menanyakan potongan kalimat yang sama. Benarkah itu ditujukan untuk para suporter, atau hanya perasaan sentimentil kami yang masih galak sebab PSS main jelek? Jawabannya tidak bisa lahir dari manapun kecuali PSS sendiri. Benarkah suporter hari ini dianggap ada di luar PSS? Lalu di mana tempat kesetiaan bertahun-tahun melekat? Di angka-angka followers dan subscribers? Di angka-angka nominal penjualan tiket dan layanan konten berbayar? Atau bahkan di angka 0 yang tidak masuk hitungan sama sekali?
Saya menulis kali ini dengan bertelanjang dada, merebah di kamar, melirik tato pertama di tubuh saya, di dada kiri tepatnya. Tulisan “VINCI” yang belum selesai. Hari ini saya pertanyakan lagi setelah 6 tahun berselang, bisakah berlanjut hingga kelar “VINCI PER NOI”?
Sebab agaknya, kami sekarang tidak dipandang sebagai bagian.
Lalu kemenangan akan jadi milik siapa?
ditulis oleh: Tonggos Darurat