Setiap tim bisa kalah. Tapi hanya tim tanpa arah yang memilih kalah sebagai rutinitas. Dan PSS Sleman, sayangnya, telah menjadikan kekalahan sebagai bagian dari wajah baru mereka.
Laga kontra Dewa United hanyalah satu bab dari kisah menyedihkan yang terus berulang. Bermain di kandang sendiri, di depan publik yang tak pernah benar-benar pergi, PSS kembali menunjukkan bahwa mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa.
Tim ini seolah-olah hanya menjalani kewajiban 90 menit bermain. Vico memang bermain dengan visi dan penuh inisiatif. Sayangnya, ia seperti sendirian, terjebak dalam tim yang tampak lebih seperti kumpulan individu tanpa arah. Tocantins dan Hokky Caraka disimpan, sementara Cirino diplot menjadi starter di lini depan, seorang pemain yang jelas tidak bisa diharapkan. Rasanya seperti menyuruh nelayan melaut tanpa jaring. Energinya tampak, tapi kontribusinya nihil. Dan Rico Simanjuntak, dengan segala reputasinya, belum juga memberi satu pun sentuhan akhir yang layak disebut peluang emas.
Jika bukan karena Alan Jose tampil stabil di bawah mistar, bisa jadi skor akhir mencerminkan kekacauan sebenarnya. Sementara lini belakang PSS, terutama pasca keluarnya Cleberson, semakin kehilangan struktur.
Masalah PSS bukan sekadar soal passing error atau finishing buruk. Di luar lapangan, masalah terbesar klub ini adalah Gusti Randa beserta jajarannya. Saat tim terpuruk, ia tak tampak. Tak ada pernyataan, tak ada pertanggungjawaban. Ia lenyap dan meninggalkan pertanyaan: apa sebenarnya perannya dalam klub?
Kekalahan adalah bagian dari sepak bola. Tapi kekalahan yang berulang, tanpa evaluasi dan perbaikan yang nyata, adalah bentuk pengkhianatan. Terutama bagi mereka yang tetap hadir di stadion, yang masih menyanyikan lagu dukungan bahkan ketika tim tak memberi alasan untuk percaya.
Sepak bola memang bukan matematika, tapi hasilnya tetap bisa dihitung: terlalu banyak kekalahan, terlalu sedikit rasa malu. PSS kini adalah sebuah klub yang kehilangan arah, seperti pertunjukan tanpa naskah.
Ditulis oleh: Pandhus
Poster: Bangun