Bunga-Bunga yang Tumbuh, yang Layu, dan yang Dipetik Orang

Sagan menuju tengah malam jarang sepi begini. Mungkin akibat hujan yang susah sekali diprediksi datangnya kadang merepotkan di tengah jalan. Jarang, sangat jarang jalanannya lengang sampai pendar lampu-lampu kota mampu kulihat terpantul di aspal yang sejengkal bolong demi sejengkal berikutnya. Suara jalanan jauh dari berisik klakson kontra flow yang biasa, atau dari deru-deru mesin yang nggereng di kemacetan khas city car yang belakangan padat di jalan kayak cendol. Karenanya traffic light lebih cepat kutemui dari biasanya kulewati. Bersamaan dengan aroma kota dan gerimis, sepi macam ini bertolak sangat belakang dari lintas lini masa dan portal berita. 

Mungkin sejak hari pertama setelah kelar kompetisi, segala prediksi dan asumsi segera tumbuh bak jamur gundul di pojok-pojok kandang sapi yang dibuahi hujan. Si ini merapat ke sini, si itu menuju ke sana, dan lain-lain info jual beli lepas ikat kontrak pemain bola. Spekulasi berubah kompleks dan ruwet di halaman rumah kami, di tanah Superelja, lantaran manajemen nir kesigapan seperti musim yang sudah-sudah. Wajar saja gelombang protes deras datang setiap hari, PSS belum mendatangkan sama sekali pemain baru sebagai ganti mereka yang lepas, pun tidak setiap pemain yang tinggal dengan cepat terikat kerja. Mirip-mirip asin laut yang menabrak dermaga Merak. Mundur lepas maju tak bisa.

Bagaimanapun juga selalu ada rumput yang lebih hijau di luar pekarangan kita. Entah pemain yang tergoda pergi atau mata kita yang memandang iri. Banyak tim lain sudah mulai belanja dan menata rak harapan mereka untuk musim depan saat para pengurus Superelja masih selonjor berlibur atas kerja mereka yang tidak terlalu kita rasa. Aku tersenyum sebentar sebelum balik geram atas langkah siput para petinggi. Beberapa kepergian dalam kurun waktu dekat tentu saja menggambar kekhawatiran untuk orang-orang yang setia percaya pada PSS dan kita mungkin tidak cukup bisa menerima bahwa ada pemain-pemain kunci yang lepas pergi. 

Menerima kenyataan bahwa PSS tidak terlalu punya nilai tawar untuk pemain bertahan tiap musimnya seperti menahan pil pahit yang sulit kita telan di rongga mulut. Klub-klub besar dapat dengan mudah menaikkan tawaran nilai kontrak sementara manajemen sibuk berapologi atas kehilangan. Jauh di keriuhan bursa transfer ini, ada setitik keyakinanku bahwa beberapa pemain ingin tinggal lama dengan rekan mereka membela PS Sleman, “slay together, stay together.” kata orang barat. 

Sejak sepakbola mengenal jual beli, memang pra musim jadi waktu-waktu paling krusial untuk membangun harapan. Sepakbola tidak melulu bisa berpangku tangan dalam keberuntungan. Kemenangan harus diupayakan sejak kick off belum dimulai. Aku sendiri sangat menyadari bahwa sebagai penghuni tribun kita tidak dapat menyalahkan kekalahan karena ketidakberuntungan sedang hinggap, tapi menyaksikan pasukan perang yang belum siap begitu genderang sudah ditabuh adalah awal dari hujan umpatan. 

Nampaknya gerimis mulai mampir sebelum aku sampai rumah. Bersamaan dengan gas yang makin kupacu maka berakhirlah pula lamunanku. Sebagaimana mestinya tribun selatan akan selalu menerima siapa saja yang bermain bersama PSS, bernyanyi sama lantangnya tak peduli siapa pemainnya. Akan selalu ada bunga yang tumbuh di pekarangan kita. Entah ia akan tumbuh sampai layu atau dipetik begitu kembang. 

“…things can go wrong and then still so right.”

bukankah begitu kita membela sepakbola selama ini?

Tonggos,

Januari 2020

Recent Posts

Social Media