disclaimer: setelah kemarin tulisan saya maka hari ini tulisan pandhu. Kami belum bertemu lagi dalam 5 hari terakhir sebab musabab covid-19 goblog ini. Seri tulisan berdua belum pula bisa terwujud lagi. Maka itu kami memisah tulisan jadi masing-masing, biar tetap bergerak dalam pikiran walau dikurung dalam rundungan.
Akhir-akhir ini, pukul 8 pagi aku mesti biasa bangun bebarengan bunyi alarm yang kupersiapkan menjelang tidur lantaran jadwal disinfeksi massal di dusun. Keadaan yang demikian dipaksa oleh serangan virus. Bergerak lebih cepat dari Slamet Riyadi, ia menyerang paru-paru dan tengah bikin repot penduduk bumi. Tak ada yang mampu sembunyi, tak terkecuali di tempat kecil yang kami hidupi. Meski begitu kehidupan di tempatku tetap berjalan tak jauh beda dari biasanya, sebab kebanyakan adalah petani yang sawahnya hanya berjarak satu dua menit dari rumah, hijaunya menghimpit perkampungan dari tiga sisi. Kecuali beberapa sebaya yang bekerja untuk kapital di pabrik-pabrik pinggiran kota, jumlah kepala keluarga yang tak banyak-banyak amat bikin mudah untuk beri himbauan ke rumah-rumah perihal bahaya dan pencegahan virus ini. Lebih-lebih buat para kelas pekerja yang lebih akrab berjumpa orang asing, kesadaran jelas mesti dipegang demi hidup banyak umat.
Di tempatku tinggal, ada sepetak lahan kecil di pojok barat daya dusun, dihimpit sawah dan pos ronda tempat ini biasa dipakai anak-anak bermain pada siang sampai sore hari. Batas garisnya berupa kali kecil dengan pondasi tidak rata. Kadang, pemain melewatinya sampai menginjak jejeran padi-padian. Begitulah pemilik sawah yang juga orangtua anak-anak kerap dibikin jengkel. Bola plastik siap diperebutkan, satu pasang batu bata juga mengisi posisi sebagai gawang. Pemandangan itu kerap kudapati pada hari-hari biasa sebelum virus ini datang kemari. Akhir-akhir ini tak lagi anak-anak bergerombol di situ, yang ada kini beberapa pasang bambu yang dikawinkan dengan kain bertuliskan himbauan melawan pandemi. Atas kesadaran kolektif, orang-orang mesti lebih banyak menikmati waktu di rumah. Di kampung-kampung, di lapangan kelurahan, di stadion megah nan mewah, di televisi, sepak bola belum kunjung hadir. Mengapa sepak bola?
Sepakbola, buat banyak orang dapat menihilkan perbedaan tidak peduli kamu seorang pengangguran atau pegawai negri. Dalam sudut pandang, sepakbola juga meniadakkan perbedaan isme-isme seorang budak pemerintah maupun komunal anti negara, sebab tribun dan warna kebanggaan yang sama dengan bijak ampuh meleburkan ideologi. Di kanal instagram, sejauh mata memandang si kaya dan tampan rupa berjejalan. Kau tau itu tak berlaku di bola. Pada kanal yang lain bernama twitter, laki perempuan bebas pamer bugil berdua-duaan. Hal begini tak akan kamu temui di sepakbola bukan? Sebab pada sepakbola masing-masing manusia punya kesempatan untuk berbahagia dan menjalani kehidupan yang mungkin tak didapat di lain tempat. Buruh atau pekerja lepas penyuka bola selalu menantikan pertandingan di akhir pekan sebagai pelepas penat atas diperasnya keringat. Begitulah sepakbola dirindukan.
Memohonlah untuk tidak menunggu lebih lama dari ini. Berharap agar pandemi lekas pergi dan sepak bola hadir kembali. Siapa yang tak sabar menikmati akrobat umpan-umpan cantik Batata. Siapa pula mau melewatkan momentum gol-gol ciamik Superelja. Dan suara-suara perut, dan kesakralan Sampai Kau Bisa, dan batas pagar, dan sebagainya. Atau, mungkin ya virus ini sengaja hadir supaya jadi bahan refleksi manusia, juga manusia-manusia pelaku dan penghayat bola agar sadar nilai-nilai sepakbola. Sampai saat semua baik-baik saja, pertandingan akan berjalan lebih hebat dari yang sudah-sudah. Begitulah sepakbola kurindukan.
(Pandhus/Maret 2020)