Ada sedikit senyum di bibirku sore itu ketika kami bertiga duduk berdempet di kamar kos yang sumuk dan menonton Netflix dari akun pinjaman teman. Aku dan dua temanku lainnya disihir pada episode-episode dalam serial The English Game dan menurutku inilah potongan adegan terbaiknya:
Klub sepakbola amatir dari Lancashire, Darwen FC merupakan salah satu perwakilan dalam gelaran kompetisi sepakbola FA dan akan bertanding melawan Old Etonians di perempat final. Setelah berakhir imbang, diputuskan bahwa pertandingan akan digelar ulang beberapa hari kemudian dan Darwen FC sebagai klub amatir besutan pabrik kecil di kota Darwen kehabisan dana karena pemilik pabrik sekaligus pemilik klubnya tidak punya cukup dana untuk memberangkatkan lagi para pemain mereka. Klub yang sebelumnya sudah mengeluarkan cukup banyak uang untuk mendatangkan Fergus Suther dan Jimmy Love dari Glasgow kehabisan daya di tengah kompetisi dan bersiap untuk menyerah. Dua pemain rekrutan sudah bersiap pulang ke tanah asalnya sampai mereka mendapati bahwa para pemain lama dan warga kota berkumpul di depan bar tempat mereka biasa berkumpul karena warga kota memutuskan untuk memberi sedikit uang mereka agar Darwen FC bisa berlaga di pertandingan ulang.
Bagi warga kota Darwen, klub sepakbola adalah wajah mereka. Darwen FC adalah klub sepakbola yang pertama kali bisa berlaga sedekat itu dengan Final FA. Keberhasilan Darwen FC adalah keberhasilan semua orang. Prestasi mereka yang berhasil menahan imbang klub para bangsawan, Old Etonians memberi mereka harga diri yang sebelumnya tidak pernah bisa mereka bayangkan. Sepakbola memberi warna baru dalam hidup mereka, menumbuhkan rasa memiliki pada kota mereka yang miskin dengan penuh rasa bangga. Keberangkatan Darwen FC untuk menghadiri pertandingan kedua adalah simbol perlawanan mereka pada kelas bangsawan. Para pemainnya yang berasal dari pekerja pabrik memupuk keberanian untuk melawan para bangsawan. Mereka menolak untuk menyerah pada takdir bahwa mereka akan terkurung dalam kemiskinan selamanya pada jam-jam kerja. Sepakbola tidak lagi menjadi sekadar olahraga sejak hari itu di Lancashire.
Dalam benakku, potongan episode itu memberi catatan penting dalam hati bahwa sepakbola memang tidak hanya tentang hasil akhir di papan skor. Sepakbola melibatkan emosi dan harga diri, ia juga melibatkan perasaan seperti yang terlihat dari orang-orang Darwen. Tidak peduli bahwa klub sepakbola mereka adalah perwakilan pabrik, saat nama kota diusung maka saat itulah sepakbola milik semua orang yang merayakannya. Sepakbola didukung sepenuh hati sekalipun dalam ketidakpunyaan, dibanggakan setinggi langit sekalipun kemenangan nyaris tidak mungkin.
Hari ini, sepakbola tetap mewarisi kisah yang mirip. Nama klub adalah perwakilan harga diri kota dan masyarakatnya. Sepakbola dihidupi oleh orang-orang di sekitarnya, dengan kontribusi macam apapun; banjirnya antrian tiket, gemerlapnya kembang api di bawah lampu stadion, pekik suara di adegan-adegan memukau lapangan hijau, dan sorak-sorai nyaris tanpa jeda sepanjang bola bergulir. Tak heran ribuan orang rela ambil bagian dalam perayaan 90 menit yang fantastis, karena jika bukan sepakbola, entah apalagi yang bisa kita bicarakan dalam hidup?
Untuk para pekerja pabrik Darwen yang berlaga di partai FA,
Selamat Hari Buruh.
(Tonggos/April 2020)