Dalam au revoir-nya di suatu hari di La Bombonera, Diego Maradona tak meminta pengampunan. Yang Ia inginkan hanyalah olahraga yang Ia cintai, yang Ia puja dan memujanya kembali, yang Ia kuasai, yang Ia terangi, yang Ia ubah menjadi seni, agar tak terpudarkan nilainya oleh perbuatannya. Rendisi dari lagu Fito Paez “And Give Joy To My Heart”, lagu yang didedikasikan untuk Maradona sebagai pengingat atas pertujukannya di Piala Dunia 1986 di Meksiko, kerap terdengar di sela-sela gang jalanan Buenos Aires. Mereka menggunakan Maradona sebagai simbol pembebasan dan sebagai pengejawantahan nilai-nilai masyarakat. El pibe de oro, menurut mereka, anak emas. Untuk semua gol dan kecerdikannya di lapangan, Maradona menjadi cult hero, dipenuhi cinta sebagai dewa yang berdiri kokoh sebagai representasi.
Pada suatu ketika Ia berdiri di sebuah balkon di Italia mengamati para pemujanya yang taat sembari melambaikan tangan sapaan dan sesekali kepalan ke udara. Bak Paus yang sedang menyambut jamaahnya di Vatikan, Ialah dewa yang senantiasa menyambut jemaahnya di Naples dari balkon hotel Royal Continental yang menatap langsung Castel dell’Ovo di Laut Tirenia. Kota yang yang Ia wakili selama tujuh tahun di puncak kekuatannya, kota yang barangkali beriman kepadanya sepanjang hidupnya. Hal itu bukanlah hanya sekedar dongeng perihal pemain berbakat yang mengantarkan klubnya di kejayaan, Ialah simbol paling pas dari arti menjadi seorang Neapolitan. Bagamanapun juga, di Napoli Ia menjadi David yang hendak melempar batu ke arah kepala Goliath. Ia berhasil menangkap imajinasi yang ditawarkan oleh kota Naples, tak hanya melalui kemampuannya di lapangannya, namun juga melalui sifatnya yang eksentris dan rasa simpatinya atas apa yang diperjuangkan dan diwakili oleh Napoli. Orang-orang Mezzogiorno, sebutan untuk orang dari selatan Italia, tak lagi harus melihat ke utara untuk mengasosiasikan dirinya dengan kesuksesan.
Ia memandang sepakbola sebagai penyelamat. Sepakbola memberikannya kebahagiaan, kebebasan, bola di kakinya terasa seperti tangannya menyentuh langit, katanya. Dari sepakbola ia menggambar garis pemisah antara Maradona sebagai pemain dan Maradona sebagai manusia biasa. Karyanya di lapangan kekal bersama dirinya, bersandingan dengan ayat untuknya “Our Diego” yang tak akan berhenti dikumandangkan pemujanya yang taat: “Diego kami, yang berada di tengah lapangan, Dikuduskanlah kaki kirimu. Berikan kami berkahmu. Jadikanlah gol-golmu untuk dikenang di bumi seperti di dalam surga, Berilah kami berkahmu setiap hari. Maafkanlah orang Inggris, seperti kami memaafkan Mafia Neapolitan. Jangan biarkan dirimu terjebak offside dan bebaskan kami dari Havelange dan Pele. Diego!”. Malam itu, Ia menutup orasinya di La Bombonera dengan kalimat “La pelota no se mancha”, bola tidak akan memperlihatkan noda. Untuk setiap detik di luar lapangan melakukan apapun pilihannya dan setiap detik ketika bola berada di kakinya di atas rumput. Kepada Tuhan mereka percaya, kepada Maradona mereka hidup.
(Radhifan)