Ajakan Untuk Kembali Merayakan

Terjeda sekian musim, termenung pada hari-hari yang tak lagi bergemuruh. Banyak pertanyaan yang rajin berjejal di kepala -salah satunya: inikah waktunya berhenti?- menemani rutinitas membosankan di daerah upah minimum rendah. Pertanyaan yang kerap muncul dari dinamika yang jelas terasa jika melihat tribun stadion kini, dibanding lima atau mungkin sampai sepuluh musim ke belakang.

***

Dulu ia bebas melanglang dan tanpa beban, menerobos batas-batas teritorial. Kini, ada panggilan yang tak bisa ia abaikan. Akhir pekan biasanya adalah waktu perayaan sepak bola, sebuah pelarian sederhana dari rutinitas yang menyebalkan. Kini, ada kewajiban memastikan perut terisi agar stigma pawon, sumur, lan amben tak lagi merenggut kehidupan. Perkara-perkara rumit dalam kehidupan harus dijalani dua kali lipat. 

Jika kenangan diizinkan untuk kembali dirayakan, tidakkah perjalanan dalam satu bus menuju Stadion Jatidiri, Semarang, tetap pantas menjadi fragmen cerita yang menyenangkan? April 2016: One Lady, One Smoke menjadi satu dari banyak cerita istimewa yang masih menggema dan menyelinap di antara celah ingatan. Atau mungkin pada 2015, ketika kita berkolektif mendukung PSS melalui adboard bertuliskan “Ladies Curva Sud” bertengger di sisi lapangan hijau. Tidakkah semua itu menjelma menjadi rasa bangga yang patut disematkan? 

Dan dari sekian banyak hal, bukankah PSS Sleman masih memiliki ruang istimewa? Bukankah gemuruh dari ujung lorong hingga tribun masih menggema dan menggetarkan hati seperti dulu? Bukankah setiap langkah kecil yang pernah kita lakukan, setiap sorak, setiap peluh, semuanya berakar pada landasan yang sama: kecintaan pada klub kabupaten? Tidakkah kenangan itu tetap hidup, meski waktu terus berjalan?

Tentu, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mengglorifikasi kenangan-kenangan waktu silam. Tulisan ini hanya sebuah ajakan. Ajakan bagi semua perempuan yang karenanya dunia menjadi lebih baik, yang karenanya sepak bola menjelma lebih indah. Singkatnya, ajakan untuk kembali merayakan sepak bola.

Tak perlu muluk-muluk, merayakan sepak bola tak harus diiringi riuh-rendah euforia yang menggelegar. Toh, dari 10 laga terakhir, klub kabupaten ini baru mengantongi 8 poin. Tentu saja jauh dari apa yang kita harapkan bersama. Terlebih jika dibandingkan dengan gegap gempita janji manis sang petinggi dan parade pemain bintang. 

Merayakan sepak bola, sah-sah saja dengan sumpah serapah, amarah, dan kritik di jagad digital. Setidaknya jangan berhenti merayakan, atau jika sempat terhenti mari rayakan kembali. Sebab sepak bola tak pernah kehilangan maknanya, meski sering membuat kecewa.

Sedikit mengutip Zine:1 Dekade LCS, “Di suatu kehidupan yang lain jika engkau mungkin menemukan diriku, rangkul aku untuk bersorak lagi: PSS Super Elang Jawa!”

 

Ditulis oleh: C, Ladies Curva Sud

Editor: Pandhus

Poster: Galih