Tentu saja ada argumen bahwa sepak bola kini telah menjadi bisnis, lihat saja misalnya: pertandingan yang dijadwalkan televisi untuk mendomplang rating dan angka penonton, transfer pemain, iklan yang lazim di sekitar stadion, sponsor pada kostum pemain, dan lain sebagainya. Beberapa aspek tersebut menjadi bagian tak terelakkan dari olahraga yang digemari hampir separuh penduduk bumi. Dengan popularitas sepak bola yang luar biasa hebat, masuk akal jika kemudian banyak pebisnis melirik olahraga ini sebagai ladang mencari pundi-pundi uang.
Jika melihat arsip tentang bisnis di sepakbola, jauh dari hari ini, pada tahun 1854 Sheffield FC menjadi anggota pertama FA yang pendirinya adalah kaum industrialis dan para pedagang. Kesebelasan yang sudah mapan sejak lahir ini kemudian dapat mendatangkan animo penonton yang luar biasa pada setiap pertandingan yang digelar. Jumlah penonton yang datang juga selalu bertambah dari tahun ke tahun. Satu abad kemudian, klub asal Uruguay, Atletico Penarol menjadi yang pertama menghiasi jersey mereka dengan sponsor. Masuk ke era 2000an, sepak bola semakin diminati orang-orang kaya dunia. Dimulai saat Abramovich membeli klub besar asal London pada tahun 2003, lalu Syekh Mansour yang membeli Manchester City sekaligus memulai revolusi biru langit 5 tahun kemudian.
Datangnya pemodal pada klub sepak bola kemudian berdampak besar pada keuangan klub, fasilitas dan kebutuhan di tubuh klub menjadi terjamin. Seakan menjadi malaikat. Namun bisnis di sepak bola sudah pasti menghasilkan kondisi klub yang mudah berubah setiap waktu. Lihat saja ketika Yaya Toure tak pernah dimainkan lagi sejak kedatangan Guardiola ke Manchester Biru, padahal ia adalah pemain yang diagung-agungkan pendukung. Perlakuan Jose Mourinho pada Bastian Schweinsteiger dengan lebih kerap memberinya tempat di bangku cadangan Setan Merah menjadi hal lain, bahwa memang sepakbola industri hanya bisa kita lihat dan sikapi dengan wajar saja, sebab sekeras apapun kita berteriak tak akan berpengaruh jika tak cukup kekuatan. Jangan heran, sukar sekali menemui pemain legendaris di era sepakbola kini sebab aspek romantisasi dan loyalitas bisa geser kapanpun jika untung tak signifikan. Coba tanya Del Piero tentang keinginannya pensiun dengan perpanjangan satu musim di Juventus, klub yang ia bela dan tekuni bertahun lamanya.
Sepak bola industri bergerak cepat dan tanpa henti, hal yang sangat berbeda jika melihat 10 sampai 20 tahun ke belakang. Klub dengan modal selangit akan meraih kejayaan, kemudian akan semakin mendapat banyak penggemar, pasar kemudian diciptakan tak hanya di lingkup Eropa tapi ke seluruh penjuru dunia. Secara bersamaan, pendukung dengan penghasilan pas-pasan terpaksa harus mengatasi kenaikan harga tiket dan merchandise klub yang diidolakan. Lihat ketika seorang pendukung Arsenal harus mengeluarkan lebih dari 30 juta rupiah untuk tiket musiman mereka, atau fans Manchester Merah yang harus merogoh hampir 2 juta rupiah demi mendapatkan jersey Bruno Fernandes. Situasi sulit lain bagi tim sendiri misalnya jadwal padat pertandingan di Eropa yang mesti diatasi manajer karena harus tunduk pada siaran televisi. Alhasil, jika klub tak punya kedalaman skuat yang mapan akan susah bermain konsisten dalam setiap pertandingan.
Hal-hal yang kini terjadi ini pernah dikeluhkan oleh Sepp Blatter. Menurut mantan presiden FIFA tersebut, pelaku bisnis tidak mengerti sepak bola secara dalam bahwa sepakbola adalah permainan hiburan bagi banyak orang di dunia, bahkan dapat meleburkan seluruh kelas sosial. Mereka semata-mata hanya tertarik dengan peluang bisnis dari olahraga terpopuler ini. Sebab pada sebuah pertandingan sepak bola, skat-skat sosial tidak begitu nampak di tribun arena laga.
Memang, bagaimana manajemen mengelola klub sangat berdampak pada hasil yang didapat. Seperti yang dituliskan Dalipin dalam bukunya: Semakin sukses sebuah klub bola, maka semakin banyak pendukungnya. Imbasnya? Manajer bisa membawa klub meraih kemenangan, tanah yang dijanjikan, ‘surga’, dan menjaring umat sebanyak-banyaknya. Manajer adalah nabi, pemain adalah pendeta-pendeta, dan pendukung adalah umat. Ketakutan yang membuat petinggi gereja Anglikan geleng-geleng kepala dan menarik nafas dalam-dalam karena umat mreteli di jam-jam kebaktian, bentrok dengan jadwal kick-off. Namun, bagaimanapun juga sepakbola bagiku adalah olahraga dengan nilai berbeda, tertanam rasa bangga dan emosional di sana. Bisnis memang sebuah keharusan sejarah yang mesti terjadi, seluruh bidang kehidupan mau tak mau bakal tersentuh. Saat sepakbola industri sudah di depan mata, harapku adalah jangan sampai kemudian menentukan segalanya. Sebab dominasi belati lambat laun bakal membawa rusaknya nilai dan rasa para fans pada sepak bola itu sendiri.
Barang pasti, sepak bola Indonesia akan digiring menuju yang paling modern, semodern mungkin yang bisa dicapai para pebisnis, sebab di sana regulasi sudah mengukur keuntungan dengan jelas. Rogoh kocek sekian di awal musim berarti akan berhadapan dengan resiko untung yang sekian kali besarnya modal. Rumusnya terdengar sederhana sejak Zen RS menulis simulakra sepakbola. Potongan-potongan peristiwa baik dalam konteks ruang dan waktu dapat dijual demi receh-receh yang menumpuk: highlight pertandingan, cuplikan gol, wawancara di ruang ganti, persiapan-persiapan menuju pertandingan, dan banyak lagi dan banyak lagi yang lahir sejak sepakbola Inggris masuk era televisi dan siar-siar berbayar, demikian pula liga-liga negara lain mengikuti. Indonesia sedang menuju ke sana, ke sepakbola yang tidak lagi terbeli, kecuali untuk para wisatawan yang sibuk sepanjang pertandingan mengambil gambar. Sedang para pendukungnya yang setia kebagian tiket murah di ujung tribun, melihat klub mereka bertanding dari kejauhan. Beberapa lainnya kurang beruntung tak dapat tiket, lantas berkumpul di warung-warung minum dan menonton dari televisi kecil. Berjubel, tapi tak lagi di pijakan mereka dulu, terusir oleh industri yang menggempur tanpa jeda. Sementara itu pemodal klub makin nyaman, stadion kini tak lagi berisi pemarah yang bisa ngamuk kapan saja kalau tim mereka dicurangi. Di belahan lain pemikiran, tribun yang penuh wisatawan berumbar senyum karena telepon genggam mereka penuh foto-foto eksklusif pemain bola.
Kita akrab dengan perkataan Jock Stein, ucapnya “Football without fans is nothing”. Jantung klub sepakbola ada pada suporter itu sendiri. Sebab sepakbola menemani hidup para fans, sehari-hari, tanpa meminta timbal balik. Mereka besar ditemani sepakbola, entah karena cerita orang tua tentang klub yang dibanggakannya, entah karena ajakan rekan sebaya menonton langsung sebuah laga, entah karena memang tumbuh dengan sendirinya. Untung saja Inggris sudah memberi contoh pada dunia bagaimana sepak bola mereka direnggut industri. Setidaknya kita semua sudah mengerti dan bersiap diri jika suatu saat harus menonton sepakbola di warung-warung minum, bisa jadi segelas es kopi, atau susu hangat, atau nutrisari anggur, atau wedang jahe instan karena cuaca sedang buruk. Yang jelas kita tidak perlu merasa malu dan rendah diri, toh orang-orang dari negeri peramu sepak bola sudah mencontohkan pada kita, kan? Dan sepak bola akan selalu terasa nikmat ketika kita tetap berpegang pada sebatas pagar tribun, bukan?
Masa depan sepak bola adalah milik semua orang, milik para pendukung. Sesuatu yang mesti diingat, lebih dari sebelumnya. Meskipun sepak bola sudah menjadi tayangan dan bukan lagi permainan, kata Zen RS. Apakah kita akan larut ditelan pelan-pelan? Atau sekuat mungkin mengingkari dengan melawan?
But how?
(Tonggos & Pandhus)