Klub bernama PS Sleman adalah catatan tragedi paling ideal dalam sejarah sepakbola, setidaknya di Indonesia. Pupusnya impian berderet panjang seperti pijakan batu di tepian Kali Gendol yang sewaktu-waktu menipu pijakannya yang licin dan dalam waktu lain pecah tergerus lahar dingin. Menapaki kesialannya juga serupa dakian menuju Pasar Bubrah yang ribuan kerikilnya siap menguji ketabahan sepanjang langkah. Ia gagal menjuarai ligina dan bercokol di 4 besar untuk kedua kalinya sebelum diguncang dahsyatnya gempa yang memaksa perjalanan harus berhenti. Di kemudian waktu ia gagal pentas di panggung tertinggi dan berkubang di kasta kedua sekian lamanya. Terseok-seok menjalani hari-hari yang biasa di dasar klasemen sudah menjadi agenda tahunan hingga satu harapan muncul untuk mengubah keadaan, itupun kudu melakoni drama gajah yang memupuskan lagi sekian mimpi ke depan yang gemilang.
Memulihkan rasa percaya diri bukan hal mudah walaupun akhirnya berhasil dilewati, menetapkan hati lebih siap dengan tekad lebih kuat sekalipun tidak lantas mengubah keadaan sesingkat mengedipkan mata. Kegagalan demi kegagalan tercatat di babak akhir liga, mengulang tahun demi tahun dengan puncak yang sama walaupun perjalanan panjangnya tiap musim kadang berbeda. Menjadi klub yang adidaya adalah halaman lain dari catatan tragedi dalam rangkuman bab bertajuk harapan, PS Sleman tidak ditakdirkan dengan kemewahan-kemewahan itu. Lahir dari Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak seberapa luas secara geografis, itupun masih harus berbagi teritori dengan 2 nama lain untuk mengisi pentas sepakbola nasional. Rasanya seperti sebuah utopia untuk menjadi besar.
Hidup selalu memiliki dua sisi serupa siang dan malam yang tidak dapat dipisahkan. Seperti koin dan lembar uang yang tidak bisa dinilai dari hanya satu sisi. Tragedi memiliki wajah lain di balik rundungan kesialannya. Rentetan tragedi yang pahit sebenar-benarnya adalah definisi komedi. Kesialan-kesialan selama ini tentunya adalah gelak tawa bagi rival dan musuh-musuhnya. Seperti para komedian yang bertutur hal-hal lucu dengan mikrofon mereka, PS Sleman ada di tempatnya untuk ditertawakan, riuh dan kencang malahan.
Mengutuk kegelapan bukan tabiat yang dibiasakan oleh anak-anak petani di lereng Merapi, alih-alih bersandar pada kesialan mereka memilih untuk menguntai api. Selalu ada nyala yang dipijarkan dalam sendu maupun senang. Dibanding terlarut dalam kesedihan, selalu ada pilihan untuk mengemas pertunjukkan. Dan oleh karenanya PS Sleman harus bersyukur memiliki suporternya yang setia. Mengubah pertandingan yang menjemukkan menjadi gairah yang dihidupkan di sisi lain pertandingan. Jika lapangan hijau menyajikan kemurungan, maka tribun menghangatkan dengan nyanyian. Baik dan buruk keadaan tetap selayaknya dirayakan dengan mesra, dengan teriakan yang lantang, dengan mozaik kertas yang melenakan, dengan pesan-pesan sepanjang spanduk terbentang. Bahwa apapun yang terjadi mereka tetap ada di sana.
Selayaknya pertunjukkan komedi, PS Sleman seperti ada di ruang gelap dengan sorot lampu. Ia meraba hendak ke mana sementara audiens menertawakan kebingungannya. Ia selalu begitu. Untung saja selalu ada para pendukung yang mendekor pertunjukkan dengan apik, mempersiapkan mikrofon terbaik, dengan sorot lampu termegah. Selayaknya pula pertunjukkan komedi, sekeras apapun tawa para penonton akan berakhir dengan riuh tepuk tangan karena pertunjukkan berhasil. Seperti itulah PS Sleman.
(Tonggos/Oktober 2019)