Penunjukkan seorang presiden klub bukanlah sekadar gestur administratif, namun penempatan kepercayaan yang diberikan kepada seseorang yang layak untuk menanggung beban harapan dan impian. Bagi PSS, tindakan ini menjadi bukti keruhnya air disfungsional dengan penunjukkannya yang sering membuat lapangan hijau tak nyaman untuk dinikmati. Pandangan sepintas pada kredensial yang ia bawa saja sudah cukup untuk dinilai biasa wae. Karir panjangnya mengatur orang-orang berlarian menendang bola juga tak menyoroti pencapaian yang datang dari kepalanya maupun yang pernah menyentuh tangannya. Dapat dihitung dengan satu jari orang-orang yang menemukan satu hal yang layak dipuji di antara gurun tandus masa jabatnya. Jika demikian, bagaimana bisa seseorang mencapai ketinggian tanpa pernah menanggalkan jejak baik?
Bagaimana ia menjalankan perannya mengepalai klub dari tanah yang sangat jarang ia injakkan kakinya menjadi paradoks tersendiri. Ia memilih untuk menyerah akan rayuan metropolis dan mengurung dirinya di ibukota yang ramai daripada menempati kabupaten kecil dengan mimpi-mimpi sederhana yang seharusnya ia wujudkan. Kemunculannya yang selangka Komet Halley dengan kalimat yang ia ucapkan menjadi pusat pertunjukan tragedi ketidakmampuan. Ketiadaannya di teras kandang semakin memberatkan bagi angka komitmennnya. Sekali ia hadir di stadion hanya menjadi tontonan hampa sandiwara politik yang tak ia samarkan dengan cukup baik. Kuasanya di PSS adalah perpanjangan kontrak dengan mediokritas dan mungkin saja hanyalah lelucon buruk oleh takdir yang gemar menikmati siklus kekecewaan yang tak berkesudahan bagi kami yang menemukan rumah di warna hijau.
Naik tinggi dengan penunjukkan yang meragukan dan prestasi yang kasat mata. Membawa elang terbang dengan catatan yang sulit dimengerti. Dalam pelukan kaki Merapi tanggung jawabnya tersemat, namun Jakarta dan Senayan mencuri perhatiannya. Mengembara jauh, mengabaikan semuanya. Sedikit tindakan dengan tatap muka yang lebih sedikit lagi, impian terbaring tak tersentuh. Sebagai orang-orang yang gemar meratap dalam hitungan musim kompetisi, kami merajuk pada pemimpin yang menghindar. Toh takdir tak selalu di genggaman dan bergerak sesuai dengan yang terbayangkan meski kadang yang duduk di kursi federasi kerap berubah pikiran tentang jalan cerita. Jadi ya biarkan saja PSS mengatur nasibnya sendiri, bukankah begitu, Tuan?
Ditulis oleh: Radhifan
Poster: Bangun