Bola berkutat di tengah, umpan-umpan tanpa tekanan berlangsung kaki ke kaki mendesak pertahanan mundur sedikit demi sedikit mendekati kotak pinalti. Bukan di kaki pemain kami. Skuat Tangerang membombardir pertahanan kami seperti tim-tim sebelumnya yang berhadap-hadapan dengan Superelja. Sepakbola yang menyerang sudah lama tidak akrab di ingatan para suporter PSS Sleman. Hari itu terjadi seperti biasa, kotak penalti penuh. Selain oleh para pemain –baik Sleman dan Tangerang, juga oleh rasa frustasi dari segala penjuru bumi yang menaruh nama PSS Sleman sebagai klub sepakbola yang digandrunginya.
[Kito menendang bola dari sisi kanan pertahanan dari sebuah serangan cepat, bermaksud mengirim bola ke kawannya di seberang, eh, bola mantul masuk ke gawang Miswar. PSS Sleman tertinggal satu gol.]
Sore itu menjadi sangat buruk karena satu gol Tangerang tak pernah menemui balasannya sampai peluit panjang mengakhiri pertandingan. Kesempatan paling emas dalam 24 jam tidak berhasil melesakkan bola ke gawang lawan saat Gufron gagal mengeksekusi bola udara. Seharusnya saya sudah terbiasa oleh hasil seperti ini. Sejak awal tahun, saya sudah tidak lagi melihat permainan yang bergairah di tangan coach Dejan. Juga hari ini. Yang mengherankan, saya masih merasa marah melihat PSS Sleman bertanding tanpa kemampuan menyerang selagi Dejan masih melatih. Seruan #DejanOut naik lagi ke permukaan setelah sempat senyap di 2 pertandingan sebelumnya yang berhasil menahan imbang Makassar dan Bhayangkara. Suara publik sempat terpecah antara memberikan Dejan kesempatan lagi pasca kepergian Arthur dan Marco atau masih mengusung tagar usiran yang sama sejak hari pertama perlawanan.
Sebagai suporter, saya seperti melihat langit-langit kaca. Dalam impian, dalam harapan, sepakbola yang taktis dan penuh perjuangan terbayang penuh di pikiran. Keinginan demi keinginan terucap dalam lagu-lagu yang dilantun dalam hati selama PSS Sleman berlaga. Sayangnya, sepakbola indah sebagai tontonan yang layak di kasta tertinggi dalam negri menjadi pemandangan yang saya saksikan, justru bukan dari tim kesukaan saya sendiri. Tim-tim lain rajin masuk kompilasi gol-gol indah dalam sepekan, sementara tim kami kesulitan untuk mencetak 1 saja. Mata saya merindukan sepakbola ciamik dimainkan dalam jersey hijau kebanggaan Sleman dan ditonton dalam keriangan bahwa “Hari ini PSS berlaga, hari ini PSS pemenangnya.” Pertandingan sore itu seperti spidol stabilo yang memperjelas bacaan selama ini “Dejan tidak meramu tim PSS Sleman dengan baik.” Partai sebelumnya yang hampir dianggap kemajuan dalam tim, berubah menjadi “sekedar beruntung” bahwa tim lawan tidak berhasil mencetak gol ke gawang kami lebih banyak. Dan memaksa Dejan keluar sekali lagi bisa jadi adalah upaya memecah langit-langit kaca yang selama ini berada di atas kepala kita. Ada ketakutan mendobrak ke atas, sebab pecahan kacanya bisa-bisa menjadi rontokan bagi kita sendiri. Tapi berjejal di bawahnya adalah kebuntuan yang selalu.
Malamnya, rilis pers keluar. Dejan berceloteh dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata. Alih-alih berargumen tentang hal-hal taktis, ia menunjuk kekalahan sebagai keluputan para pemain dalam 45 menit kedua. Saya ikut terbata-bata dalam bahasa Indonesia mengucap anjing.
ditulis oleh: Tonggos Darurat