Soreku hari ini, yang ketiduran seperti biasanya, dibangunkan oleh dua ratus lebih notifikasi chat whatsapp. Sumbernya ternyata adalah grup band kami Neckemic tentang banyak hal terkait lagu-lagu kami baik yang teralbumkan, yang terupload, yang belum terekam, dan yang terabaikan. Mungkin ini tahun ke delapan (atau kesembilan?) band kami berdiri. Dengan personil yang pindah-pindah posisi, keluar-masuk, dan vakum lantas kembali. Beberapa arsip lagu, foto, dan semua hal berkaitan dengan band mulai dikumpulkan lagi, mengingat kami tidak terlalu urusi hal-hal macam itu. Dulu kami selalu asal tabrak saja. Manggung di mana asal jadwalnya cocok dengan personel hajar, sedang ingin buat lagu kumpul di mana hajar, rekam seadanya dengan handphone kualitas rendah hajar. Untuk sebuah band berusia satu windu, kami tidak membuat banyak lagu, tentu saja kalau dibandingkan dengan the Beatles yang punya 20-an album musik mereka termasuk best of the bestnya.
Band kami hanyalah kumpulan suporter yang ingin menyanyikan lagu-lagu tentang PSS saja, bukan saduran lagu luar, bukan gubahan lagu orang. Terlebih untukku pribadi, beberapa lagu dulu sulit kunyanyikan karena range vocal yang sempit, ga bisa mencapai nada-nada tinggi, sehingga membuat lagu sendiri yang bisa kunyanyikan sendiri adalah jalan keluar. Kembali ke isi chat grup whatsapp kami, akhirnya setelah satu sore membuka banyak flashdisk yang sudah tidak terpakai, ketemulah basian-basian karya. Sejak band kami berdiri, kami menyadari bahwa kumpulan kami bukanlah musisi yang kebetulan suka sepakbola.
Kebalikan dari itu, kami adalah orang-orang suka sepakbola yang kebetulan ngerti sedikit musik. Kalau hari ini kamu bandingkan band kami dengan band-band lain yang juga menggeluti PSS Sleman tentu akan kamu lihat bedanya, band kamu jauh di bawah dari segi kualitas, karena memang kami ga ngerti-ngerti amat tentang musik. Menyadari keterbatasan kami sejak awal maka membuat lagu sendiri adalah pilihan paling mutlak. Selain karena suaraku yang terbatas, band kami akan sangat kelihatan bego kalau menggarap lagu orang lain. Tapi ternyata mengingat panggung-panggung yang sudah terlewat, melihat lautan manusia menyanyikan dengan keras lagu-lagu PSS Sleman Super Elang Jawa bagiku pribadi adalah kelegaan dalam hati.
Entah sejak kapan aku jadi suka berhenti menyanyi dan menyodorkan mikrofon ke orang-orang dan biarkan mereka mencekik lehernya dengan lagu-lagu sepakbola sementara aku tersenyum saja di atas pentas. Di beberapa sudut orang-orang memejamkan mata, memantrakan lirik lagu lirih dalam keheningan mereka sendiri. Di jauh belakang, kerumunan orang sibuk berjoget dalam kumpulan mereka. Ada rasa plong yang kental, mak lhesss, menyadari bahwa kamu tidak gila sendirian jatuh cinta pada sepakbola. Beberapa orang lantas menjadi teman dekat sejak panggung pertama, akrab terlihat di barisan depan. Sementara teman-teman menyiapkan instrumen mereka, orang-orang akan dengan luwes mengajakku cangkeman. Entah request lagu (sekalipun tidak pernah band kami wujudkan), entah sekedar tanya kabar “wes mabuk durung mas?” Begitu intro dimulai, kami dengan segera tenggelam di suara mereka. Monitor suara jadi nirfungsi, bahkan aku tuli pada suaraku sendiri karena orang-orang gemar sekali bernyanyi.
Penampilan kami sering sekali ditutup dengan lagu Sampai Kau Bisa, yang selalu bisa membalik segala pesta menjadi masa paling khidmat. Orang-orang bisa dengan tiba-tiba berhenti tertawa dan segera hening untuk memulai lagu sebagai barisan koor paling relijius menjelang malam yang larut. Sebab kusadari akhirnya, semua kembali pada PSS Sleman, pada satu nama yang kita elukan tidak peduli saat ia terbang tinggi atau jatuh tersungkur. Dan oleh sebab itu lagu-lagu untuknya tidak pernah berhenti.
(Tonggos/Mei 2020)