Lewat tengah malam, orang-orang lalu lalang di antara gelas plastik. Kata-kata lewat begitu saja, bercecer seperti warung kopi hari ini. Berisik bukan kata yang tepat, tapi memang ramai di sekitar. Lagu dari pojok speaker sayup-sayup dicuekin orang-orang. Dan aku di sini ngapain sih sebenernya? Aku cuma kangen sepertinya, kangen peluit panjang dimulainya sorak-sorai dan nanar mata mereka yang berjejer di tribun.
Sungguh kick off tanda pertandingan mulai sangat penting untukku. Pernah seorang muda dari sudut barat bertanya padaku, “apa sih yang terpenting dari sepakbola menurutmu?” kujawab enteng, tentu saja selalu tentang peluit panjang dimulainya pertandingan. Bocah Baba ini tertawa saja tidak percaya. Untukku yang baru balik rantau ke lapangan hijau, jeda minggu tenang sepakbola nasional ini terlalu lama dan sudah begitu kurindukan.
Minggu ini, kabar dari seberang bersliweran. Kalteng Putra mogok latian lantaran bab bayaran yang tak kunjung terpenuhi, atau apapunlah itu aku kurang tau. Musim lalu, menjamu Kalteng Putra adalah pembukaan pesta. Hal ini mungkin terulang besok di kandang dan karenanya jeda begitu terasa lama.
Terpupuk rasa tak sabar dan menggebu akankah besok pecah rentetan hasil imbang di rumah sendiri. Sementara di jauh sana, tim tamu tersendat pergerakannya dan hampir mengundurkan diri dari liga, kata lini masa. Pun terdengar selentingan, bantingan dari pendukung hanya terkumpul ratus ribu. Aku akan sangat heran jika hal macam ini terjadi di Sleman. Para pendukung di kaki Merapi ini adalah orang-orang yang sungguh memperhatikan perihal internal tim, apalagi urusan kesejahteraan pemain dan jajaran orang-orang di dalamnya. Hal-hal mengenai tunggakan bayaran pasti, kubilang pasti, jadi isu yang cepat sekali menyebar jauh sebelum para pemain memutuskan mogoj latian. Suporter yang mengimani PSS terbiasa mengambil peran penting sebagai sistem kontrol, sekaligus garda depan jika manajemen bekerja buruk. Bonus bosku, royalti CSS, tiket tanpa penonton, dan hal-hal kecil lain sudah membuktikan. Kepedulian yang tinggi ini kadang berbenturan dengan pandangan awam mengenai manifesto “sebatas pagar tribun” yang kadang dengan serampangan diartikan orang luar sebagai gerak yang terbatas bagi suporter Superelja.
Akan kupaparkan perlahan bagaimana manifesto ini -yang sudah sekian tahun selalu dipertanyakan padaku- kumaknai lebih besar dari sekedar batas.
Sebatas pagar tribun, untukku ada dalam tataran ide. Pagar tribun kumaknai sebagai wujud siapa kita, siapakah orang-orang gila yang begitu peduli pada sepakbola Sleman ini. Pagar tribun kumaknai bahwa kita adalah orang-orang yang menghuni tribun, berdiri dan bernyanyi di sana, sebagai seorang suporter. Maka dari itu sebatas pagar tribun bukanlah tembok besar ruang gerak sebagai suporter PSS, melainkan sebuah kalimat tentang ide bahwa apapun yang kita lakukan adalah sebagai suporter PSS. Oleh karena itu aku sendiri tidak heran jika memberi bonus pada pemain dengan cara patungan, memberi sisa hasil usaha merchandise tiap tahun, menjual tiket pertandingan tanpa penonton tetap kita lakukan dari tahun ke tahun mengikuti kondisi tim saat itu karena walaupun kita menyeberang ranah dari tribun selatan ke ranah lain (ranah manajemen misalnya), semata-mata karena kita begitu peduli pada PSS sebagai suporternya. Bukan untuk menjadi manajemen, bukan untuk keuntungan 1-2 orang, bukan sebagai kendaraan politik, dan bukan sebagai apa-apa kecuali sebagai manusia yang peduli, sebagai suporter yang terus menghidupi tim ini dalam kondisi apapun, sekuat-kuatnya, dan sebaik-baiknya.
Jika saja hal yang terjadi pada Kalteng Putra terjadi pula pada PSS, aku tetap yakin masalah akan terurai lebih cepat. Tidak ada dalam benak suporter Sleman untuk membiarkan hal macam ini berlarut terjadi hingga isu pengunduran diri dari liga mencuat. Untuk itulah kenapa suporter tempatnya lebih penting dari sekedar stadion yang baik, finansial tim yang kaya, jajaran lemain kelas bintang, dan hal-hal kemewahan lainnya. Sejauh suporter tidak bergerak karena rasa peduli yang tinggi, kemewahan-kemewahan itu tidak punya rasa. Sejak era sepakbola klasik hingga era modern industri hari ini, hal yang tidak berubah dari sepakbola adalah keberadaan suporternya.
Lapangan becek dan tradisional berubah menjadi stadion megah, kepengurusan pemda berubah menjadi industri profesional, pemain daerah lalu lalang di zona transfer dengan nilai yang terus naik, tetapi suporter tetap tinggal di tribun yang sama. Suporter tetap menjadi orang-orang gila yang peduli akan keberlangsungan klub yang dibelanya dan pada satu level nalar tertentu perjuangannya tidak bisa masuk di akal logika.
Sepakbola seperti undian tiap tahunnya, apakah kali ini turun di dasar liga atau tahun depan naik kasta. Apakah tahun ini lebih baik dari tahun kemarin atau kudu berjuang lebih gila dari sebelumnya. Ketidakpastian ini yang melulu menimbulkan harap dan doa, yang diupayakan terus oleh para pendukung klubnya. Dan perjuangan baru selalu dimulai dari peluit dimulainya laga. Karenanyalah kick off begitu penting untukku.
Mengingat serangkaian banner dari suporter Huddersfield kala menghadapi Manchester United, “It doesn’t count how big you are or how experienced you are. If you have passion and desire, you have no limit.”
(Tonggos/Oktober 2019)