Pembual Ulung

Kali terakhir kuingat warna cat rumahku adalah hijau tosca, tahun lalu. Pagarnya warna hitam dan halaman depan yang sempit mulai berdebu di sudut-sudutnya, terutama di dekat motor matic yang sudah ketiduran selama dua tahun bersandar dekat tangga lipat. Mungkin sekarang debunya lebih tebal dari yang bisa kuingat terakhir kali, atau bahkan sudah bersih sendiri karena hujan deras agak brengsek beberapa minggu lalu. Air tampias sempat rembes lewat bawah pintu dan mana tau bikin bersih halamanku.

Seandainya belum bertegel, aku yakin rumput akan tumbuh tinggi-tinggi di halaman dan kambing-kambing si Harjo mulai merumput saban sore di halamanku. Kecuali tainya yang mudah menyamar jadi kerikil, aku tak ada masalah jika itu terjadi. Setidaknya nasib Harjo tidak akan senaas mati kena penggal parang si Aris yang murka lantaran deretan bonsai kebanggaannya di grup facebook pada gundul kena lahap kambing-kambing sore itu. Harjo dapat lungsuran handphone android dari kakaknya, ia lalai menggiring dan mengawasi gerombolan sorenya. Kepalanya tunduk melulu sepanjang hari, kegirangan melihat dunia dalam genggaman. Ia mati keesokan paginya dengan halaman terakhir di handphonenya: “HEBOH! Inilah bukti-bukti kedatangan alien!” dan itu tidak membuat Aris lepas dari hukuman, tidak juga membuat alien masuk daftar tersangka karena rahasia kedatangannya bocor di tangan Harjo.

Aku nyaris tak melihat lagi bagian depan rumah, kecuali untuk mengintip tetangga yang datang mengirim undangan, menaruhnya di selipan bawah pintu seperti sales promo door to door Indomaret menyebar pamflet diskon mingguan (yang isinya sabun pel dan popok bayi melulu, sesekali bundling mie instan dan kopi botolan), khusus untuk tetangga yang mengantar nasi berkat aku membuka sedikit pintu mempersilahkan lauk pauk masuk rumah. Sisa waktu banyak kuhabiskan untuk tidur dan menggerutu di kamar, sesekali keluar rumah lewat pintu belakang untuk berhutang Garpit eceran dan kopi sachet. 

***

Kamis sedang sumuk sekali, lipatan perutku sedikit licin karena keringat mulai merembet entah karena memang sebentar lagi hujan atau karena memang tangan kananku sedang girang betul merancap dengan gambar artis telanjang di galeri handphoneku. Pintu rumahku diketuk pelan tiga kali. Seorang tamu amatir yang ragu-ragu dan kurang pengalaman mengetuk pintu rumah orang. Aku keluar kamar dan mengintip sedikit dari jendela. Bukan seorang yang kukenal betul-betul. Tangan kananku masih getol di selangkangan, kuputuskan agar ia menyelesaikan tugasnya lebih dulu. Misi  siang ini jadi lebih susah karena perjalanan ke puncak sering diganggu selingan ketukan pintu berikutnya. Tepat di menit 18, seorang perwira gugur di selangkanganku dan celana kolor naik lagi ke tempat seharusnya. 

Ketukan di pintu telah berhenti pula sekitar 5 menit lalu. Langit sedikit gemuruh dan aku berusaha mengembalikan tempo nafas dalam sedotan-sedotan Garpit. Tak sampai hitungan menit gerimis mulai datang lagi di halamanku bersamaan dengan suara langkah kaki yang gusar di tempat. Kubuka pintu dan wajah yang sama seperti kuintip sebelumnya tampak menghela nafas agak lega. Kemejanya kotak-kotak rapi tapi minyak rambutnya mulai ketetesan hujan. Kuduga umurnya dua pertiga umurku.

“Saya Greg.” Katanya sambil mengulurkan tangan. Kujabat tangannya dan persilahkan ia masuk.

Kedatangannya yang tergesa-gesa dan cukup keras kepala ternyata untuk wawancara tugas kampus. Tentang sepakbola dan tetek-bengek penulisan. Ia mengangguk-angguk saja tiap kali kujawab pertanyaannya, sesekali diiringi mengulang kata kunci jawabanku walau recordernya cukup baik merekam semua pembicaraan kami. Ia pendengar yang baik, pertanyaannya mengalir tanpa pembukaan bertele-tele dan kepura-puraan. Beberapa orang sebelum ini menghabiskan cukup waktu untuk lip service penuh puja-puji sebelum pertanyaan dangkal lain ditujukan padaku. Ia tak melakukannya dan aku memberi sedikit hormat. Satu-dua kali ia mempertanyakan ulang jawabanku yang meragukan. Aku terpancing untuk bercerita lebih banyak. Jika akhirnya kami berteman itu bukan karena tugas kampusnya, tapi lebih karena aku seorang pencerita dan ia seorang pendengar, dan penyanggah yang cukup baik.

“Aku ini pembual ulung.” kataku tiba-tiba setelah recorder mati. 

Katanya, ia pernah beberapa kali mendengar ujaran macam itu dari beberapa mulut orang dalam wawancara-wawancara sebelumnya. “Apa cerita-ceritamu itu romantisme? Atau justru omong kosong?” ia mengaku tidak begitu tau bedanya, ia hanya gemar mendengarkan saja.

Bram,  seorang teman tongkrongan, juga seorang suporter bola pemabuk pernah menjebakku satu waktu. Kami sedang sama-sama meniup mie rebus di Mang Ocank. Televisinya yang mutakhir sedang menyiarkan berita tentang keributan di pertandingan sepakbola tandang yang kami datangi tempo hari dalam kualitas HD. Ia menelan suapan mie rebusnya yang pertama sambil menoleh padaku. Hidungnya menunjuk layar televisi, “Menurutmu?” Pertanyaan macam ini kubaca sebagai jebakan untuk jawaban-jawabanku kemudian. Ia tau betul aku suka sekali membual tentang sepakbola, tentang yang indah-indah, yang fana, tentang yang heroik dan ultra-puitis. Kredibilitasku sebagai pencerita dipertaruhkan saat itu, aku mengatur nafas hati-hati, “Ya jelas to, Bram, suporter bola selalu ga mau timnya diinjak sama keputusan wasit yang ngawur. Kita jelas-jelas liat sendiri tackle masuk di kolong kaki, eh malah striker kita yang dapat kartu kuning dikira diving. Wajar kita marah-marah.”

Jawabanku yang terlalu mengantisipasi jebakan Bram justru membawaku masuk ke perangkapnya. Ia melanjutkan mie rebusnya yang mulai lunak, menyesap kuahnya dari sendok seng beberapa kali sampai ia memutuskan kelar makannya malam itu, meneguk es tehnya dari gelas yang keringetan, lalu menawariku Garpit sebagai ritual wajib usai makan. “Semua orang tau kalau keributan itu terjadi karena aku lempar lumpia ke wasit, suporter tuan rumah lihat dan mulai melempari kita. Jawabanmu terlalu naif. Apanya yang heroik? Itu karena aku yang mabuk arak. Tapi terima kasih kamu memperbaiki situasi dengan jawabanmu barusan.”

Sampai saat ini aku sulit melupakan hari itu. Mie rebus, sepakbola, es teh, dan Garpit selalu mengingatkanku lagi waktu Bram mempecundangi sudut pandangku melihat sepakbola. Rasanya seperti kepalaku dipukul sendok di depan banyak orang. Sakitnya tipis, tebal malunya.

“Kita tidak perlu membahas tentang romantisme atau omong kosong hari ini.” Kupikir memang tidak penting memperdebatkan dua hal itu. Maka cerita-ceritaku berikutnya pada Greg adalah tentang perjalanan-perjalanan menonton bola di kota orang, atau tentang malam sebelum partai kandang, atau tentang pemain A yang bego, atau pemain B yang punya kebiasaan jorok waktu latihan. Ia mendengarkan sekaligus menimpali beberapa pengalamanku dengan pengalamannya. Ia sendiri juga mendukung klub sepakbola yang sama sepertiku, hanya saja kami berbeda generasi. Jika ia tak bercerita balik tentang generasinya mungkin aku tetap akan menjadikannya teman semata-mata karena ia memang pendengar yang baik. Tapi ia melebihi ekspektasiku dengan bercerita banyak pula dan aku balik mendengarkan.

Greg jadi lebih sering bertandang ke rumahku setelah itu, cerita tidak lagi melulu soal sepakbola. Kadang pula tentang hidup yang pahit seperti puyer balita. Hidup memilih sendiri suasananya, ia kadang memutar sebuah tragedi demikian cepat menjadi komedi. Kami sering melakukannya, setelah hening usai cerita pedih hidup kami, tawa meledak dari salah satu mulut dan menular pada mulut satunya. Tapi kadang cerita-cerita hidup tak melulu bisa kuatur rimanya, beberapa kali cerita kami begitu pening untuk diingat kembali dan bikin kepala seperti dihantam anggur orang tua beserta botolnya. Lebih-lebih tentang kakaknya yang bikin ibunya kesusahan bayar hutang sabung ayam, atau tentangku yang pengangguran, yang hidupnya mengandalkan naskah-naskah bualan tabloid lokal ecek-ecek. 

Kupikir Greg sedang sibuk menghadapi ujian akhir karena ia tidak nampak dalam 3 bulan terakhir. baik juga untuknya lebih banyak melahap buku daripada bualan-bualanku. Tiba-tiba pintuku diketuk lagi dan aku sudah cukup hafal dengan ritmanya. Greg menenteng anggur orang tua di depan pintu dan menungguku mempersilahkannya masuk. Gelas bekas kopi tadi pagi menjadi penengah antara tegukanku dan miliknya. Ia menyimpan satu cerita sampai botol tinggal setengah isi. 

“Kakakku melarikan uang hasil jual rumah kami.”

Ia menunggu responku sementara aku menimbang betul-betul bagaimana bereaksi.

“Bajingan itu berhutang banyak pada Mas Sobari karena ayamnya memang yang paling kuat saat ini. Rumah kami terpaksa dijual karena ibu tidak lagi punya simpanan.”

“Uangnya dibawa kabur.”

“Aku sekarang kontrak rumah berdua ibu. Kuliahku berhenti.”

“Untung ada kawan ibu tawari aku pekerjaan.”

Semua reaksi dan pertanyaanku yang tersumpal ia jawab sendiri dalam tegukan-tegukan setelahnya tanpa aku mengucap apapun selain mendengarkan. Aku tak ingin membual untuk perkara hidup macam begini dan kubiarkan ia menamatkan ceritanya, termasuk umpatan-umpatan pada kakaknya yang belum pernah kutemui sama sekali. Tuturnya masih tenang seperti waktu ia datang pertama kali sebagai pendengar, bedanya hanya kepalaku lebih pening mendengar kisah kali ini. “Kau sendiri, sekarang tidak pernah kulihat di media sosial manapun?” tandasnya menutup cerita.

Sepakbola sedang libur panjang sampai entah kapan dan aku tak bisa membual pada omong kosong. Orang jadi banyak mengurusi hal lain dan meribetkan hal-hal yang dulu tidak mereka urusi. Aku enggan ikut di riak itu, memilih untuk lebih menghayati sedotan Garpitku pelan-pelan ketimbang nyemplung di keramaian yang terus berganti. Walaupun sesekali tetap merancap dengan gambar artis telanjang di kamarku yang sumuk, percayalah aku malas betul meributkan lini masa yang riuh. Sepakbola memang benar sebuah katarsis, sebuah oase dan persinggahan manusia dari ruwetnya kehidupan yang terus menghimpit seperti kata profesorku di kuliah dulu. Beban harian dan tekanan hidup bisa ditahan dan tumpah dalam keikhlasan ketika dua kesebelasan mulai beradu, masalah yang menghantui di luar stadion berganti jadi satu saja: kapan gol tercipta? Bahkan Bram si bajingan tengik kuamati jadi lebih sering bertengkar dengan pacarnya karena ia tidak punya cukup alasan untuk pergi minum arak karena tidak ada pertandingan bola.

“Besok kalau sudah mulai sepakbola, aku berangkat dengan kau, ya?”

Kujawab saja dengan anggukan.

 

Tonggos Darurat,

Terinspirasi dan termotivasi dari Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu, Dea Anugrah.

Recent Posts

Social Media