Sepakbola Lereng Merapi [3]

disclaimer: ini fiksi. dan bersambung.

Pak Arif sudah bersiap dengan polo shirt terbaiknya setelah amplop-amplop yang ia siapkan sebelumnya sudah masuk dashboard pick up reyotnya. Aku dan Mas Gema juga sudah selesai memasangkan bendera-bendera pada tongkat-tongkat bambu, lalu menaikkannya ke bak belakang mobil. Mendung bergeser lambat-lambat ke selatan menyibak gelap sedari siang dan matahari lekas condong mendekati pukul 3 sore. 

Di kemudinya yang sudah akrab, Pak Arif membawa kami menuju lapangan Martani. Sepetak tanah yang dulu gersang dengan kompi pohon-pohon pisang tersebar tak beraturan di sisi-sisinya. Kadang-kadang angin berputar membawa debu kalau siang sedang terik. Taufan lembut macam itu sering tampak supel saat bocah-bocah sekitar lapangan bermain-main waktu ibu-ibu mereka kena limpe tidur siang. Bocah-bocah yang malas garap PR ini sering menyelinap keluar sementara ibunya ketiduran. Kumpul di lapangan tanpa janji, di bawah bayang-bayang pohon pisang dan bermain entah kelereng entah delikan. Sesekali mereka sembunyi-sembunyi merokok puntung sisa bapaknya dan tak lama nangis disamblek pantatnya oleh Lik Dar, marbot masjid yang rumahnya ada di balik rimbunnya kebun rumput liar di sisi lain lapangan.

Kini lapangan Martani tak segersang 2 tahun lalu. Haji Amat yang menyulapnya dengan segera saat ia hendak nyalon lurah. Dana besar turun ke kantong-kantong pemuda dan diubahnya lapangan menjadi lebih layak untuk bermain sepakbola. Tatakan tribun dibuat dari semen di masing-masing belakang gawang sementara dibangun pula pondokan di sebelah barat yang fungsinya sebagai bench tim tamu dan ruan rumah, walaupun sebenarnya lebih mirip pos ronda dengan atap seng. 

“Sepakbola saya yakin pasti akan jadi satu kekuatan besar bagi pemuda untuk merubah bangsa ini,” decaknya patriotis sambil berkacak pinggang setelah para pemuda kelar menebang rombongan pohon pisang dan menyelesaikan garis-garis lapangan dari remukan batu kapur. “nanti saya juga akan mendatangkan pemain dari kota.”

Para pemuda mengangguk saja seolah bilang iya karena segera ingin pulang lantaran matahari sudah di puncak panasnya. Pikiran mereka tentu sudah penuh dengan es jeruk di dapur rumah mereka dan nongkrong nanti malam ketimbang harus berlama-lama mendengar pidato Haji Amat. Mereka segera berlalu, berlari jinjit karena jalanan yang tambah panas menyengat telapak kaki, meninggalkan Haji Amat yang menyusul pergi setelah sembunyi di Kijang kapsulnya. Nyaris seperti pertanda, 3 bulan kemudian Haji Amat merasa jadi orang paling sendiri di seisi desa waktu namanya tidak menang pemilihan lurah. Ia merasa dikhianati setelah banyak uang ia rogoh dari koceknya untuk membangun lapangan Martani tidak menjadi timbal balik yang pantas kecuali ucapan terima kasih dari para pemuda yang kini bisa nonton sepakbola seperti di benua Eropa, tidak lagi berjejal di pinggir-pinggir lapangan mepet bakul bakso tusuk. 

Tidak sampai 2 minggu sejak pemilihan lurah itu, rumah Haji Amat sepi. Kabarnya dari gosip ibu-ibu di pasar pagi, Haji Amat sakit hati lalu pindah ke kota. Meninggalkan Sepakbola Lereng Merapi yang terlanjur bermain dengan beberapa pemain dari kota yang ia bawa. Sejak saat itu Pak Arif yang sudah terlanjur ketagihan nonton bola akhirnya mengupayakan bayaran para pemain bon ini dari keuntungan toko bangunannya yang ia sisihkan dalam amplop-amplop sesuai nama mereka.

“Daripada sepakbolanya harus berhenti,” jelas si juragan toko bangunan.

Tonggos,

Januari 2020

Recent Posts

Social Media