Mahasiswa Semester Akhir

Sarapan sudah lama dingin di meja sebagaimana kesiangan yang biasa karena dihantam lembur-lembur kerja paruh waktu. Di atas meja pula jam weker murmer sudah miring posisinya hampir jatuh sebab si empunya tidak bangun sampai ia purna tugas sepuluh menit lewat pukul delapan. Revisi skripsi bagian akhir ikut tertidur di lullaby dengkurnya yang teratur, tersangkut di draft surel yang belum juga terkirim.
Dengan separuh tubuh turun dari kasur tipis, kedua kakinya rapat mengapit tangan karena subuh tadi membalut ubin jadi sungguh dingin. Dua kali telepon masuk jelang pukul sepuluh belum cukup membuat melek matanya, hanya mengganggu secuil bagian mimpinya, bibirnya menggumam menggerutu dalam bahasanya sendiri dan balik dalam lelap beberapa detik kemudian. Di jauh, seorang ibu sedang mengulur kesabaran, menanti kabar undangan wisuda dari anaknya di rantau yang belum terlihat kapan akan tiba. Baru pada dering telepon ketiga itu hari, setengah jam kemudian, ia berangsur bangun.
 

“bajingan” umpatnya nyaris berbisik.

Telepon  hampir berakhir waktu Tian akhirnya sadar untuk segera merespon panggilan. Tangan kanannya meraba penjuru kasur mencari telepon genggamnya yang ternyata ngumpet di bawah bantal. Matanya belum melek sepenuhnya tapi suara dari seberang cukup memekakkan telinga dengan latar suara jalanan dan cekikikan beberapa teman.

“Cepet kumpul, semua udah siap!”

“Iyo tak adus sek.” Jawabannya bahkan belum selesai ketika telepon sudah ditutup.

Tentu saja kalimat yang barusan hanya basa-basi karena ia memilih rokok lebih dulu daripada handuk. Sambil menyalakan sigaret tangannya menggapai sarapan (basian kopi yang ia buat semalam tanpa sempat ia seruput karena kantuk yang berat). “bajingan” ucapnya lirih kedua kali pada diri sendiri. Entah karena sarapan yang hambar atau karena pening kepala akibat begadang tadi, atau karena hari-hari sungguh berat akhir-akhir ini. Mungkin juga karena ketiganya. Datang sebagai mahasiswa rantau dari kota kecil jelas tak membuatnya bisa hidup berfoya-foya. Bahkan untuk urusan rokok, ia harus memaksa seleranya berganti ke kretek non filter yang dirasa lebih hemat. “Pahit sedikit yang penting awet.” ujarnya di semester pertama dulu pada teman-teman kampusnya.

Hidupnya tambah repot sejak semester dua. Sebuah ajakan datang untuk ikut nonton sepakbola di satu hari Rabu usai kelas-kelas pagi khas mahasiswa baru. Untuknya, tidak rugi juga mencoba mengerti apa-apa saja yang terjadi di kota ini termasuk nonton bola klub lokal yang sering kali diceritakan Nanda, teman satu angkatan sekaligus suara di seberang yang menelponnya pagi ini. Dengan segera Nanda mengajaknya ke tempat berkumpul teman-teman kelompoknya. Mereka sudah siap dalam pakaian-pakaian rapi seperti mau pergi pesta. Sebagai orang yang datang, Tian berkenalan satu demi satu walaupun segera lupa dengan nama-nama baru yang terlalu banyak dalam sekali waktu. Salah seorang di antara mereka merogoh bawah bangku tongkrongan dan mengeluarkan dua botol anggur, seorang lagi meminjam gelas kopi sachet pada pemilik warung. Tak lama setelah itu mereka minum bergilir dan segera gelas sampai di hadapannya. Baru setelah satu teguk pertama meluncur di kerongkongannya, orang-orang mulai mengajaknya bicara banyak. “Dari mana?, temen seangkatan Nanda?, emang suka nonton bola?” dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain saling bertukar dalam kumpulan mereka. Di daerah asalnya, sepakbola tidak begitu populer kecuali komunitas-komunitas pendukung sepakbola Eropa yang biasa nonton bareng di kafe dan ia tidak ikut tren itu.

Menuju pukul dua siang, satu rombongan bergegas merapikan diri mereka dan mulai berangkat berboncengan menuju stadion. Mereka bernyanyi-nyanyi lagu-lagu tentang klub sepakbola mereka sepanjang jalan. Termasuk Nanda. Tian sendiri hanya tersenyum mengamati orang-orang dalam konvoi ini sambil mulutnya terbata-bata coba mengerti lagu apa yang mereka lantunkan.

Pertandingan dijadwalkan mulai pukul setengah empat. Mereka semua berhasil masuk dua puluh lima menit sebelum kick off setelah mengantri cukup lama di kerumunan yang padat. Tian segera mengekor pada rombongan dan sampai di sudut biasa mereka menonton. Matanya menjelajah Stadion Maguwoharjo yang megah. Tingkatan tribunnya empat kali lipat stadion di kota asalnya, sejauh yang ia ingat saat dulu mengantar adiknya di Minggu pagi sekolah sepakbola. Rumputnya begitu rapi terpotong seperti yang ia saksikan di televisi, di liga-liga tanah Eropa. Dalam obrolan remeh mereka menjelang kick off, menit demi menit lewat begitu saja sambil para pemain melakukan pemanasan. Tiba-tiba semua orang serentak berdiri. Mau tak mau Tian ikut menegakkan diri. Seseorang di atas pagar memberi aba-aba lagu dan seisi tribun mulai menyanyikan lagu yang sama. Indonesia Raya di upacara Senin sewaktu sekolah tidak serapi ini dinyanyikan. Pertandingan segera dimulai tidak lama kemudian. Nanda dan teman-teman satu rombongan terpaku pandangannya ke arah lapangan, sambil tetap menyanyikan lagu-lagu seperti tidak ada habisnya. Tian terpaku pada berisik macam ini.

Di satu serangan balik, PSS Sleman berhasil membawa bola ke dekat gawang musuh. Pemain tengah meliuk mencoba ke kanan dan lepaskan tendangan kencang-kencang. Bola masuk gawang tepat dengan seruan satu komando “GOOOOOOOLLLLLLLLLL..” Spontan mereka bernyanyi lebih keras dan saling merangkul satu sama lain. Air muka menjadi serba cerah dengan senyum-senyum di wajah mereka. Tian ikut dalam perayaan itu. Dirinya bahkan lupa kenapa ia tiba-tiba bisa menjadi bagian dari skor unggul sore ini.

Pertandingan berikutnya Tian ikut lagi, juga dengan pertandingan berikutnya, dan pertandingan di kandang orang berikutnya lagi.

Uang saku yang terbatas tentu tidak cukup untuk biaya nonton bola walaupun sudah hidup paling hemat. Ia lantas memutuskan untuk kerja sambilan menulis transkrip rekaman-rekaman riset kakak angkatan dan mahasiswa-mahasjswa S2 di kampusnya. Beberapa kali deadline kerjaan bertabrakan dengan jadwal mengumpulkan tugas kampus. Bahkan sampai di semester akhir kuliahnya seperti malam tadi. Tian harus segera setor hasil transkripnya sebelum ganti hari, sementara skripsinya juga butuh kemajuan karena sebulan terakhir terbengkalai. Berjubel antara pekerjaan, kuliah, dan jadwal sepakbola. Ia sempat ingin rehat menonton bola dan menyelesaikan studinya, agak sumpek dengan teror dari rumah via telepon yang isinya melulu sama, “kapan selesai?”

Malam tadi ia sempat menyesal pernah menonton sepakbola. Hidupnya pasti tidak serumit ini jika dulu ia lebih memilih tidur siang di kos ketimbang ikut Nanda. Kuliah, kelar, kerja. Hidupnya mungkin akan lebih sederhana hari ini. Malam tadi, setelah ia mengirim surel hasil transkrip pada kakak angkatannya sesuai pesanan, ia membuka ketikan skripsinya dalam kantuk yang berat di pelupuk mata. Dalam hati ia berjanji untuk tidak ikut menonton pertandingan hari ini demi menyelesaikan revisi. Dibukanya file ms word, judulnya terpampang besar di halaman pertama “Sepakbola Sebagai Totem Masyarakat”. Ia berhenti sebentar dan memilih untuk menyeduh kopi dari pemanas air eletrik kiriman ibunya. Jari-jarinya sudah siap di atas keyboard, diam cukup lama. Belum sempat memulai satu abjad, ia behenti, “kalau berhenti nonton bola, trus nulis skripsinya gimana?” Kepalanya pening dan memilih tidur secepatnya walaupun telat.

Baru setelah rokoknya habis Tian berangsur mandi. Ia ingin cepat karena pasti Nanda akan bawel jika ia tidak bergegas sampai. Rambutnya dikeringkan sambil tangan kirinya membuka lemari. Memilih kemeja kotak-kotak lalu menggaet celana panjang di belakang pintu. Dibukanya kardus sepatu, dipakai dan diikat talinya kencang-kencang. Ia menuruni tangga kosnya waktu bapak kos sedang menggendong cucunya makan siang. “Ale ale ale” suara bocah dalam gendongan menirukan kakeknya sambil menggiring sendok ke suapan si cucu. Tian mengangguk sebentar dan bergegas keluar sambil mengirim pesan pada Nanda, “OTW su.” Dalam hatinya cukup lega, keputusannya hari ini tidak keliru.
(Tonggos, Juli 2020)

Recent Posts

Social Media