Aku sudah lupa sejak kapan aku benar-benar menggilai Superelja. Masa SD adalah masa “mas melu mlebu mas” di Tridadi yang sebenarnya aku tidak gandrung-gandrung amat. Hanya karena orang-orang yang lebih tua di gang-gang sempit rumahku berangkat menonton lantas lambat laun aku ikut penasaran. Pun waktu itu aku tidak benar-benar tau apa yang terjadi, mungkin aku hanya mengingat sorak gol dari sekitarku dan begitu saja kegembiraan lahir. Sorak gol ini terus berulang sampai aku tidak bisa mengenali lagi apakah benar aku ini tidak gandrung-gandrung amat sama PSS? Tiba-tiba semua berwarna hijau di hidupku sejak SMP.
Gayung kamar mandi, cat kamar tidur, sikat gigi, botol minum, celana dalam, sprei favorit, dan hal-hal remeh kecil lainnya. Sedangkan waktu SMP dan SMA sendiri aku tidak mengikuti pertandingan PSS seperti anak-anak sekolah hari ini. Hanya beberapa pertandingan tiap musimnya. Tapi yang kuingat, warna hijau melekat dalam berbagai pilihan di hidupku.Di hari-hari tidak bisa menonton pertandingan, dulu radio ibu selalu kusita di gelombang RRI karena siaran langsungnya di Mandala Krida. “Deca kepada Seto, diteruskan Anton Hermawan, dicocor saja oleh Marcelo Braga” adalah kalimat yang akrab sekali di telinga. Sampai lupa benar aku sudah berapa jilid buku tulis dengan sampul Deca dan Braga yang kuhabiskan di bangku sekolahan.
Warna hijau melekat lebih dalam di setiap perbincanganku dengan teman sebaya hingga satu hari aku dan seorang teman Donatus memutuskan berjalan kaki menuju Maguwoharjo. PSS melawan PSMS. Pertandingan dalam ingatanku berlangsung membosankan sekaligus menegangkan karena Markus Horizon sedang bagus-bagusnya di tim nasional. Almarhum Rakuti dari kejauhan mulai menari mencari lawan berkelahi sementara bola di lapangan bergulir di kaki Castano, ia putar badan dan melesatkan tendangan jarak jauh ke sudut kanan gawang. Seketika sorak gol yang sama dengan masa dulu di Tridadi berulang segembira itu. Dan kucatat dalam memori bahwa hari itu untuk kali pertama aku benar-benar ingin mengikuti tim ini berlaga sebanyak-banyaknya.
Hari-hari kian membaik waktu aku mulai tergabung tidak sengaja bersama para pendahulu, mulai menggila di tribun selatan tiap ada waktu pertandingan. Menjual tivi di rumah untuk menjahit giant flag, tidur terlambat karena bikin chants yang tidak kunjung selesai bersama Bagong, rambut terbakar akibat eksperimen smoke bomb, dan makin hari makin ada saja yang ingin kulakukan bersama orang-orang gila ini untuk membakar pertandingan. Tak terlewat juga debat panjang di depan microsoft excel bersama Bebek dan Liston perkara kapankah tribun selatan siap menyajikan koreo. Sungguh aku merasa beruntung dibesarkan bersama orang-orang gila haus bola macam mereka.
Pada suatu hari belum lama ini, aku ditanya oleh beberapa mahasiswa baru, “mas gimana caranya biar bisa gila PSS kayak gitu?” Tentu saja kebingungan aku menjawabnya. Setiap orang memiliki pengalaman spiritualnya sendiri bersama Superelja dan itulah yang selalu menjadi alasan tiap orang untuk bertahan. Buatku cinta tidak tumbuh dalam semalam, ia harus diupaya dan dihidupkan. Tidak dengan menunggu waktu bahwa suatu saat akan cinta. Dalam diri sendiri, ia harus dipaksakan dan dibiasakan hingga suatu hari kita lupa sejak kapan kita rela dan terbiasa. Sebab dari situlah muncul rasa bangga.
Sampai hari ini, sudah banyak rasa gembira yang dihadiahkan padaku oleh Superelja. Dan jika ada hal yang tinggal dalam hidupku pasti tentang Superelja. Begitu juga jika suatu saat ada hal yang tersisa dalam hidupku sudah pasti Superelja. PS: love you till I die.
(Tonggos/Oktober 2019)