Sepakbola Lereng Merapi [4]

disclaimer: ini fiksi. dan bersambung.

Kedatangan pick up kami selalu disambut oleh anak-anak yang sudah sama bersemangatnya dengan kami sejak pagi. Mereka akan dengan patuh tidur siang sepulang sekolah tadi dan bangun tepat sebelum kami tiba sementara kakak dan bapak mereka sudah menabur remukan batu kapur sejak pagi sambil komat-kamit kurang jelas yang penting hari ini jangan turun hujan. Bocah-bocah yang penurut dalam 1 hari ini seperti membuka jalan di tengah kerumunan motor-motor yang juga siap berjejal dalam parkiran, rebutan untuk jadi yang pertama mendapat jatah bendera dan segera mengisi tribun semen di bagian depan, menghindari pandangannya ketutupan badan orang-orang jika menonton agak belakang. Sepakbola dirayakan seriang ini di lapangan Martani karena memang hanya ini yang kami punya, yang akhirnya bisa diceritakan pada orang-orang di pasar pagi, atau di hari Lebaran setahun sekali bagaimana tim kami menggerus semua yang coba menantang datang. 

Pak Arif segera bergegas menemui tim yang mulai berkumpul di depan rumah Lik Dar dalam jamuan teh hangat seperti biasanya. Para pemain yang diseleksi dari lapangan-lapangan desa sudah berbaur dengan pemain yang terlanjur datang dari kota sejak dibawa Haji Amat dalam arahan coach Irawan Beni. Ia seorang mantan guru penjaskes di SMA 1, sekolahku dulu, yang dianggap paling punya wawasan tentang olahraga di kalangan kami meskipun aku tau ia hanya mempraktekkan strategi-strategi dari rubrik olahraga yang kerap ia baca di kliping perpus kota. Aku sempat meragukannya, tapi itu yang terbaik yang kami punya dan sejauh ini tim kami tidak sekalipun luput dalam 5 besar kompetisi tahunan sejak tribun-tribun semen itu ada di belakang gawang kami.

“Kita harus berhati-hati dalam pertahanan karena Eko Puji bergabung dengan tim kota tahun ini,” katanya dengan tangan di belakang versi istirahat di tempat. “kita semua tau tendangan geledeknya.”

Seketika aku yang tidak sengaja mendengar dari bawah pohon mangga tercekat kaget, kukira Eko Puji masih bersama kami seperti tahun-tahun lalu. Ia selalu menggebrak gawang lawan kami dan berlari selebrasi dengan telunjuk di ujung bibir seolah menyuruh semua diam tanpa perayaan, seperti gol-gol semacam ini adalah kebiasannya yang tidak perlu lagi dihebohkan akan masih akan terjadi kemudian hari. Ia adalah top skor selama 2 tahun berturut-turut walaupun tim kami belum pernah menyentuh juara. Aku melirik mas Gema yang sudah membimbing anak-anak berbaris di tribun depan mencoba mencari tau apakah ia sudah menyadari Eko Puji memakai jersey warna berbeda hari ini. 

Mas Gema sesaat melirik ke arah rumah Lik Dar dan mendapati mataku yang penuh tanya. Ia hanya mengangguk dalam lalu-lalang orang yang berdatangan, wajahnya tenang tapi menggigit bibir bawahnya sesekali. Ia juga sudah menyadarinya dan berusaha tetap baik-baik saja meskipun aku melihat ada pikiran lewat di kepalanya. Pandangannya menyapu arah bench tim tamu yang sudah diisi tim kota dan mendapati Eko Puji duduk di sana. Kembali ia berbalik ke arahku yang masih mengawasi dari kejauhan sambil mulutnya berkata tanpa suara kecuali gerak bibir yang kubaca “wes rapopo“. 

Arahan dan obrolan di teras rumah Lik Dar sudah lewat dari telingaku dalam lamunanku di gol-gol Eko Puji yang sudah lalu, serta kecemasan-kecemasan akankah untuk pertama kalinya kami akan kalah di kandang sendiri.

Tonggos,

Januari 2020

Recent Posts

Social Media