Tridadi: 2030

Asu, kesel aku!” Ale mengumpat pada dirinya sendiri setelah separuh gelas es teh ia teguk dalam satu tarikan nafas panjang. Kantong matanya hitam dan pandangannya sayu, tatapannya kosong pada gelas di hadapannya yang berkeringat. Juga jidatnya sendiri yang mengembun titik-titik air dekat pangkal rambut.

Mur tersenyum saja mendengar umpat pemuda yang datang dengan muka payah di angkringannya sambil mencuci sendok-sendok dan gelas-gelas bekas para PNS makan siang. Ia sudah mendengar cukup banyak rahasia dapur rumah tangga orang-orang sejak makan siang tadi. Tentang penis si Raden yang sudah jarang bangun tiap pagi, tentang isi chat si Mukti dengan pegawai TU sekolah anaknya (bukan tentang tagihan SPP, lebih-lebih tentang seberapa montok belahan dada pegawai TU yang ia intip sewaktu dipanggil wali kelas anaknya dan janji mereka bertemu diam-diam besok Senin), juga tentang istri si Ridho yang selalu minta dua kali ronde malam walaupun besoknya mereka masih harus bergelut dengan macetnya jalan Magelang untuk berangkat kerja. Cerita si Rohim tentang asam urat tidak begitu mampir di kepalanya dan firasatnya berkata bahwa masih ada satu cerita susulan yang akan ia dengar setelah ini.

Wes ping papat.”

“eh?”

“Ini sudah asu keempat dalam sebulan tiap kamu datang ke sini siang-siang.” Mur meniriskan gelas-gelas dan membaliknya di atas gerobak angkringan, di sebelah wadah sate usus yang dipajang melar-melar sebab harganya separuh harga biasanya. Setelah rampung dengan urusan cucian ia duduk di seberang pelanggannya dan mulai menata tembakau di atas papir manis dalam satu jumputan, lalu cengkeh dalam takaran hafalannya. Setelah rokok Mur ngebul, koreknya dioper pada Ale karena ia nampaknya ingin juga membakar sebatang.

“Skripsiku ga kelar-kelar.” Mur tau betul kalimat ini akan diikuti serentetan keluhan berikutnya tepat setelah rokok Ale menyala. “revisi terus sampai capek, padahal sudah semester terakhir. Orang tuaku tak mau lagi bayar tagihan kampus lewat 5 tahun. Jam kerja garap desain tabrakan dengan mood nulis skripsi, capek begadang terus. Makin berumur makin repot tuntutan hidup. Tau gitu dulu ga usah bolos kuliah nonton bola.”

Mur tersenyum sekali lagi pagi itu sebab dua hal: pemuda seperempat abad di depannya bicara tentang umur dan sepakbola adalah sasaran kekesalannya. “Wajar, kamu bukan bayi lagi yang taunya cuma netek-ngebrok.” Ia mengaduk es teh miliknya sendiri, bagian atasnya sudah putih bening dan tidak lagi coklat kental seluruhnya karena es mulai mencair. Menyeruputnya sedikit karena tembakau nyangkut di bibirnya dan bikin pahit lidahnya.

Mereka berdua menghembuskan asap rokok hampir berbarengan tanpa seucap kata kecuali isi kepala Ale yang mencoba mengingat sesuatu. Angin sedikit-sedikit masuk ke angkringan tapi tidak juga bikin sejuk pori-pori kepala sebab memang cuaca sedang panas sekali di luar sana. Lebih panas sedikit lagi saja mereka sudah mirip siomay dalam kukusan. Ale mengambil dua bungkus langsung nasi teri, membuka keduanya dan buru-buru menyuapkan sesendok penuh ke dalam mulutnya.

“Kata orang jaman dulu mereka yang paling beruntung adalah ga pernah dilahirkan. Karena makin tua hidup makin repot?” Pertanyaan datang tiba-tiba dari mulut Ale yang masih penuh nasi. Mur akrab dengan kutipan ini sebab ia dulu gandrung betul dengan Catatan Harian Seorang Demonstran kepunyaan Gie, dulu sekali sewaktu ia muda dan kuliah sama repotnya dengan Ale hari ini. Gie menulis hal serupa di bukunya itu.

“Dulu kupikir itu tepat, dulu sewaktu aku seusiamu.”

“Apa yang terjadi?”

“Nonton bola, kuliah terlalu lama, repot di akhir. Sepertimu.”

“Lulus?”

“Tidak juga. “

“Menyesal?”

“Tidak juga. Sebab ada sepakbola. Kukira belum ada sepakbola waktu Sileneus ditangkap raja Midas. Makanya ia enteng bilang manusia paling beruntung adalah yang tidak pernah dilahirkan. Jika ia lahir sekarang, menurutku ia akan dengan bijaksana berkata sebaliknya.” Mur menyedot agak dalam rokoknya kali ini. Lebih dalam dari biasanya hingga terasa agak panas di rongga hidungnya. Setelahnya ia buang dan injak puntungnya. Sekejap ia ingat tentang waktu-waktu yang dulu habis dalam hidupnya menonton sepakbola. Riuhnya kerumunan, tangisnya dalam kekalahan di partai krusial, juga pesta-pora tiap kali kemenangan datang. Juga tentang kemenangan-kemenangan yang dijemput di tanah orang. “tentang apa skripsimu?”

“Sepakbola, sih.”

“Kalau begitu jangan menyesal. Hidup selalu tambah repot dan tidak selalu baik-baik saja. Selesaikan, aku kenal ibumu”

Ale pamit kemudian, setelah merekap tagihan makan siangnya lengkap dengan gorengan dan merogoh saku kanannya membayar pada Mur. Ia ingin sekali tidur siang kali ini sebab nanti malam adalah pertandingan kandang paling seru dalam kamarnya. Dirinya kontra skripsi.

Tonggos,

Juli 2020

Recent Posts

Social Media