Surat ini kutulis dalam kegusaran yang sesadar-sadarnya. Aku hanya ingin bertanya tentang kabarmu. Aku hanya khawatir akan kamu yang sampai kini masih saja gemar untuk tak utuh.
Meski kita tak lagi saling sapa, atau pesan-pesanku tak lagi kamu terima, tapi aku tahu kamu masih menunggu dan ingin pulang. Sedang aku tak lagi mampu mengunjungimu lagi karena Tuanmu yang sedang brengsek. Pulanglah dan sudahi sakit yang tak perlu ini. Akan tetap ku coba untuk menebas Tuanmu yang menjauhkanmu dariku. Agar kamu yang dulu kembali lagi, membahagiakan apa adanya. Tak berniat mengguruimu, tapi sulit untuk tak peduli padamu mengingat segala hal yang pernah kita lalui bersama.
Setelah hari itu di Bogor, presentasi disasterclass oleh tim yang diselamatkan oleh individual masterclass. Tak pernah lagi kulihat kamu mau bercerita, tapi tidak apa-apa. Aku paham dan mengerti. Tidak ada juga yang tahu dan berani menjawab pertanyaan untukmu. Sepengertianku, kamu juga akan pulang kok untuk memulai series kedua. Namun kamu memilih untuk beralasan langsung ke arah tujuanmu tanpa mampir ke rumah. Sepertinya aku harus lebih sering mengunjungi kembali tempatmu di dalam hati, mungkin dengan lebih banyak bunga untuk ditebar. Tenang saja, lampu kamarmu masih tetap menyala tiap malam, siap untukmu kapanpun kembali.
Sebaik-baiknya benih tak tumbuh subur tanpa tanah. Seelok-eloknya bunga berdiri di kuat akarnya. Serupa-rupa warnamu, kamilah yang menopang kuat. Dalam badai, dalam gersang, dalam kembang, mengharapmu pulang. Di antara ucapan-ucapan kita yang tidak lagi berbalas, semoga kamu menemukan sepimu dan sayup-sayup mendengar: dengarkan kami, kami bernyanyi: PSS Sleman.
Surat ini mungkin tidak akan sampai di mana pun kamu sekarang. Tapi kamu tahu kemana semua doa dialamatkan.
ditulis oleh: Radhifan & Tonggos Darurat